KAJIAN KITAB

AZWAJA

ASBABUN NUZUL

Latest Updates

Showing posts with label NIKAH. Show all posts
Showing posts with label NIKAH. Show all posts

Penjelasan Tentang Masa 'Idah Seorang yang Ditinggal Meninggal Ataupun Masih Hidup

July 28, 2017

Benangmerahdasi.com
-
Benangmerah No: 00270 Fiqih bab talaq "cerai" (Tentang masa 'iddah)
Halo benangmerah
WA: 081384451265

Pertanyaan

1. Berapa lamakah iddah seorang perempuan cerai meninggal?
2. Berapa lamakah iddah masa cerai hidup?

Jawaban

Ada beberapa perbedaan dalam perceraian biasa dan meninggal.

1. Apa bila seorang perempuan bercerai dengan suaminya karena sebab suaminya meninggal, maka perempuan tersebut wajib menjalankan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari).
Hikmah dari itu wallahu'alam, yaitu karena pada saat umur kandungan sudah empat bulan Allah SWT menipupkan ruh padanya

2. Apabila seorang perempuan bercerai dengan suaminya karena sebab perceraian biasa, maka perempuan tersebut wajib menjalankan masa iddah sebagai berikut:

(a). Jika wanita tersebut tergolong wanita yang haidh, maka 'iddahnya menunggu sampai tiga kali quru'(masa suci)

(b). Jika perempuan tersebut tidak haidh seperti halnya usia dini yang tidak atau belum terkena haidh  atau juga perempuan yang sudah tua dalam katagori sudah berhenti haidnya maka msa 'idahnya tiga bulan. Karena tujuan 'iddah itu tidak lain adalah untuk memastikan bahwasanya dirahim perempuan tersebut benar-benar kosong (tidak hamil).


(NB); Jika perempuan dicerai atau berpisah dengan suaminya  karena meninggal sedangkan ia sedang mengandung, maka 'iddahnya sampai ia melahirkan.

Dasar pengambilan (1)

وأما لفرقة وفاة فتجب: على الزوجة (و إن انتفى الوطء وادخال المني أو كانت صغيرة أو زوجية صغير (وهي لحرة)ولو من ذوات الأقراء (أربعة أشهر وعشرة أيام بلياليها)قال تعالى والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعةأشهر وعشرا وتعتبر الأشهر بالأهلة ما أمكن ويكمل المنكسر
قوله وأما لفرقة وفاة سواء قبل الدخول أو بعده ومنها المسخ جمادا ولو في نصفه إلا على وحده وماله حينئذ لورثته ولو مسخ نصفه طولا حجرا ونصفه الأخر طولا حيوانا ينيغي أن يكون كما لو مسخ كله حيوانا وتختص فرقة الوفاة بالنكاح الصحيح أما الفاسد فإن لم يقع فيه وطء فلا شيء فيه و إن وقع فهو وطء شيهة وفيه ما في فرقة الحي(قوله وإن انتفى الوطء)أي وإن كان الواطئ لا يتصور منه الوطء بخلاف فرقة الحياة- إلى أن قال- (قوله أربعة أشهر الخ)والحكمة في ذالك أن الأربعة بها يتحرك الحمل وتنفخ فيه الروح وذالك يستجعى ظهور الحمل إن كان وزيدت العشرة استظهارا ولأن النساء لا يصبرن على الزوج أكثر من أربعة أشهر فجعلت مدة تفجعهن انتهى م ر (قوله بلياليها . الشرقوي الجز 2 صفحة 333.

Dasar pengambilan (2).

النوع الثالث من لم تر دما إما لصغر أو إياس أو بلغت سن الحيض ولم تحض فعدة هؤلاء بالأشهر قال الله تعالى { واللائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن } يعني كذلك قال أبي بن كعب رضي الله عنه أول ما نزل من العدد { والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء } فارتاب ناس في عدة الصغار والآيسات. كفاية الأخيار. الجز 1. صفحة 423.

Dasar pengambilan (3)

الْبَابُ الثَّالِثُ في عِدَّةِ الْوَفَاةِ وَالْمَفْقُودِ فَإِنْ مَاتَ زَوْجٌ عن حَامِلٍ اعْتَدَّتْ بِالْوَضْعِ وَلَوْ تَقَدَّمَ على تَمَامِ الْأَشْهُرِ الْآتِيَةِ لِآيَةِ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أو عن حَائِلٍ فَبِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشَرَةِ أَيَّامٍ بِلَيَالِيِهَا. أسنى المطالب. الجز 3. صفحة 399.
Dasar pengambilan (4)

والثانى) أنها تعتد بثلاثة أشهر لان براءة الحرم لا تحصل إلا بثلاثة أشهر لان الحمل يمكث أربعين يوما نطفة، ثم أربعين يوما علقة،) ثم أربعين يوما مضغة ثم يتحرك ويعلو جوف المرأة فيظهر الحمل. المجموع شرح مهذب. الجز 18. صفحة 184
Dasar pengambilan (5)

فصل) في عدة الوفاة وفي المفقود وفي الاحداد (تجب بوفاة الزوج عدة وهي) أي عدة الوفاة (لحرة حائل أو حامل من غيره كزوجة ) صبي) أو ممسوح، (ولو رجعية أو لم توطأ أربعة أشهر وعشرة) من الايام (بلياليها). قال تعالى: * (والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا) * أي عشر ليال بأيامها وسواء الصغيرة وذات الاقراء وغيرهما. والآية محمولة على الغالب من الحرائر الحائلات، وألحق بهن الحاملات ممن ذكر. تحفة المحتاج. الجز 2. صفحة 184.

Referensi kitab:

1. Hasyiyah As Syarqowi. Juz 2. Hal 333.
2. Kifayatul Akhyar. Juz 1. Hal 423.
3. Asnal Matholib. Juz 3 Hal 399
4. Majmu' Syarah Muhazdzab. Juz 18 Hal 184
5. Tuhfatul Muhtaj. Juz 2 Hal 184.

Sumber: MTTM (Majelis Taklim Tanah Merah) Madura.

Hukum Berbohong Demi Keutuhan Keluarga

July 15, 2017

Benangmerahdasi.com - Fiqih bab zina (berbohong demi keutuhan keluarga)

Hallo benang merah:
WA: 081384451265

Diskripsi masalah:
Seorang wanita bernama tukiyem (nama samaran) adalah seorang wanita yang suka bergonta-ganti pacar dan juga terkadang terjadi hubungan intim(zina) dengan pacarnya. Namun, akhirnya dia memutuskan bertaubat kepada Allah dan kemudian ia meningkah dengan laki-laki yang bernama Mat pelor (nama samaran).

Satu bukan berlalu si suami (mat pelor) menanyakan pada istrinya (tukiyem) perihal keadaannya (pernah berzina apa belum ..?)

Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya jika tukiyem berbohong (mengaku tidak pernah berzina) pada suaminya demi mempertahankan keluarganya.??

Jawaban
Imam Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syata al-Dimyanti di dalam kitabnya (I'nah al Thalibin) menyatakan ''Ketahuilah, sesungguhnya dianjurkan bagi orang yang melakukan perzinaan dan setiap prilaku kema'siatan untuk menutupi atas dirinya (perbuatannya), berdasar hadits ''Barang siapa melakukan perbuatan keji, maka tutupilah dengan penutup Allah, barang siapa memperlihatkan kepadaku catatannya, niscaya aku tegakkan had atas dirinya''. (HR. al Hakim).
Baca juga: Hukum ber KB menurut fiqih 
Imam Sulaiman bin Muhammad bin Amr al Bujairami al Mishri al Syafi'i di dalam kitabnya (Hasyiyah al Bujairami 'Ala al Khatib) menyatakan bahwa wajib bagi orang yang menyimpan untuk mengingkari simpanannya dari orang dhalim. Ini merupakan bagian dari kondisi yang harus berbohong. Pada asalnya berbohong adalah haram, Namun terkadang hal itu diperbolehkan seperti (kebohongan) istri demi menjaga menjaga keharmonisan rumah tangganya.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum berbohong dengan tidak mengakui perbuatan zina yang telah dilakukan demi menjaga keutuhan rumah tangga adalah boleh, bahkan di anjurkan (sunah)

Dasar pengambilan (1)

واعلم أنه يسن للزاني ولكل من ارتكب معصية أن يستر على نفسه: لخبر: من أتى من هذه القاذورات شيئا فليستتر بستر الله تعالى، فإن من أبدى لنا صفحته أقمنا عليه الحد رواه الحاكم . إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (4/ 166(

Dasar pengambilan (2)

قَوْلُهُ: (وَيَجِبُ عَلَى الْوَدِيعِ إنْكَارُ الْوَدِيعَةِ مِنْ ظَالِمٍ) هَذَا مِنْ الْمَوَاضِعِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا الْكَذِبُ، فَإِنَّهُ فِي الْأَصْلِ حَرَامٌ؛ وَقَدْ يَجُوزُ كَالزَّوْجَةِ حِفْظًا لِحُسْنِ عِشْرَتِهَا وَكَإِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ. حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب (3/ 300(

Daftar Pustaka:
1. I'anah al Thalibin. IV/166
2. Hasyiyah al Bujairami 'Ala al Khatib. III/300

Hukum Suami Mencuci Daleman Istri Dalam Ilmu Fiqih

June 07, 2017

Benang merah Dasi -FIQIH RUMAH TANGGA[tentang pembagian tugas suami -istri]

Fiqih bab rumah tangga
No: 00250
Hallo Benangmerah
WA: 081384251265

PERTANYAAN
BAGAIMANA HUKUMNYA SUAMI MENCUCI DALEMAN ISTRI ..? [kualatkah sang istri]

JAWABAN
1. Pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri adalah masalah muamalah atau urusan horizontal antarmanusia, bukan masalah ibadah. Oleh karena itu, Islam menyerahkan sepenuhnya pada kedua belah pihak dalam soal pembagian tugasnya. Walaupun umumnya secara tradisi istri yang melakukan tugas mencuci, tapi kalau disepakati suami yang mengambil peran, karena satu dan lain hal, maka tidak ada masalah. Dan kalau suami kebagian mencuci tentu saja termasuk mencuci pakaian dalam istri. Tidak ada istilah kualat dalam Islam. Selagi tidak melanggar syariah, maka hal itu boleh dilakukan.

Namun demikian, kalau anda berada di lingkungan yang kehidupan bertetangganya akrab satu sama lain, maka perlu berhati-hati dengan kebiasaan yang tidak lazim dan menyalahi tradisi ini karena akan timbul fitnah di kalangan tetangga yang mengasumsikan anda sebagai kelompok suami takut istri. Sebaiknya, kebiasaan ini agak dirahasiakan jangan sampai tetangga tahu.

2. Tidak benar anggapan bahwa hal itu akan kualat karena tidak ada dasarnya dalam Quran dan hadis.
URAIAN
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari dari Aisyah ia berkata:

كان صلى الله عليه وسلم يكون في مهنة أهله، يعني خدمة أهله، فإذا حضرت الصلاة خرج إلى الصلاة

Artinya:
Rasulullah biasa membantu istrinya. Apabila tiba waktu shalat, maka ia keluar untuk shalat. (Lihat: Sahih Bukhari 2/129; 9/418; Tirmidzi dalam Mukhollas 3/314, 1/66; Ibnu Saad 1/366.
Tirmidzi dalam Al-Syamail, hlm. 2/185, meriwayatkan hadis sahih serupa sebagai berikut:

كان بشراً من البشر؛ يفلي ثوبه، ويحلب شاته، ويخدم نفسه
Artinya:
Nabi adalah seorang manusia seperti yang lain. Ia membersihkan bajunya, memeras susu unta, dan melayani dirinya sendiri. (Ahmad dan Abu Bakar meriwayatkan hadis ini dengan sanad sahih dan ditahqiq dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Al-Sohihah, hlm. 670).
Namun, pada kesempatan yang lain, Rasulullah juga menyuruh Aisyah mengambil dan mengasah pisau. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim Nabi menyuruh Aisyah untuk memasak daging qurban:

: يا عائشة ، هلمي المدية ، ثم قال : اشحذيها بحجر ، ففعلت ، ثم أخذها وأخذ الكبش ، فأضجعه ثم ذبحه ، ثم قال : بسم الله اللهم تقبل من محمد ، وآل محمد ، ومن أمة محمد ، ثم ضحى به
Artinya:
Wahai Aisyah, bawakan pisau, kemudian beliau berkata : Tajamkanlah (asahlah) dengan batu. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi SAW mengambil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad, kemudian menyembelihnya.
Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma'ad, bab "في حكم النبي صلى الله عليه وسلم في خدمة المرأة لزوجها" mengutip ucapan Ibnu Habib dalam kitab Al-Wadihah menyatakan:

قال ابن حبيب في "الواضحة" : حكم النبي صلى الله عليه وسلم بين على بن أبى طالب رضي الله عنه ، وبين زوجته فاطمة رضي الله عنها حين اشتكيا إليه الخدمة ، فحكم على فاطمة بالخدمة الباطنة ، خدمة البيت ، وحكم على علي بالخدمة الظاهرة ، ثم قال ابن حبيب : والخدمة الباطنة: العجين ، والطبخ ، والفرش ، وكنس البيت ، واستقاء الماء ، وعمل البيت كله
Artinya:
Ibnu Habib dalam Al-Wadihah berkata: Nabi menghukumi masalah rumah tangga antara Ali bin Abi Talib dan istrinya Fatimah binti Rasulillah ketika keduanya melaporkan masalah pelayan. Nabi memutuskan Fatimah mengurus urusan dalam, urusan rumah. Dan meminta Ali mengurus urusan luar rumah. Yang dimaksud 'layanan dalam' adalah membuat roti, memasak, menyapu rumah, .. dan seluruh pekerjaan rumah.
Baca juga: Penjelasan tentang batasan suami menggauli istri ketika haid
Dari sejumlah hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tugas keseharian rumah tangga bersifat fleksibel, tidak kaku. Walaupun tradisi universal menganut sistem istri bertugas di rumah dan suami di luar rumah, sebagaimana disebut dalam hadis Ali dan Fatimah di atas, namun ulama ahli fiqih sepakat itu tidak mutlak. Dalam kondisi tertentu bisa saja tugas itu dibalik atau bergantian seperti sikap Nabi yang sesekali mengurusi urusan internal rumah tangga seperti membersihkan baju dan memeras susu.

Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 19/44 dijelaskan pendapat 4 mazhab soal ini:
Tidak ada perbedaan antara ulama fiqih bahwa istri boleh melayani suami di rumah hanya saja ulama berbeda atas wajib atau tidaknya:

(a) Mayoritas ulama (mazhab Syafi'i, Hanbali dan sebagian Maliki) menyatakan tidak wajib istri melayani suami hanya saja lebih utama melakukan itu sesuai dengan tradisi yang berlaku;
(b) mazhab Hanafi berpendapat wajibnya istri melakukan itu.

Pandangan Fiqih Tentang Pembatasan Minimal Usia Perningkahan Oleh Pemerintah

April 24, 2017

 BenangmerahDasi -Fiqih bab nikah [batasan umur]

Fiqih bab nikah
No: 00213
Hallo benangmerah
WA: 081384451265
DESKRIPSI

Dalam UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa batas minimal usia pernikahan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun untuk wanita. Batas usia pernikahan ini oleh jaringan pegiat hak perempuan diminta untuk diubah dengan dinaikkan dari 19 tahun menjadi 21 tahun bagi pria, dan 16 tahun menjadi 18 tahun bagi perempuan.

Ada banyak alasan yang disampaikan jaringan hak pegiat perempuan, antara lain dapat membahayakan kesehatan reproduksi, berisiko anemia, kekurangan energi, dan yang lainnya.
Sebagai upaya untuk mencegah pernikahan dini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama mengeluarkan modul yang mendorong usia minimal pernikahan untuk perempuan adalah 21 tahun dan untuk laki-laki 25 tahun. Kebijakan baru ini dimaksudkan agar pasangan yang menikah benar-benar telah matang lahir dan batin.

Permintaan jaringan hak perempuan itu selain disosialisasikan kepada masyarakat melalui forum-forum yang melibatkan tokoh agama, juga diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) supaya merubahnya. Namun MK tidak mengabulkannya setelah melalui persidangan berulangkali.
Permohonan untuk menaikkan batas usia pernikahan hingga kini terus menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagi yang tidak setuju menganggap bahwa penaikan batas usia nikah tidak berdasar sama sekali, alasannya banyak masyarakat yang melakukan akad nikah di bawah usia yang ditentukan dalam UU Perkawinan 1974 dan pada kenyataannya tidak mengalami problem atau keluhan seperti yang dituduhkan kelompok yang pro dengan menaikkan batas usia pernikahan.

PERTANYAAN

1. Bolehkah pemerintah membatasi usia minimal pernikahan?
2. Jika tidak boleh, bagaimana hukum melangsungkan pernikahan dibawah batas usia yang ditentukan pemerintah?

JAWABAN

1. Bolehkah pemerintah membatasi usia minimal pernikahan?
Jawaban :
Pemerintah tidak boleh membatasi usia minimal pernikahan dengan alasan :♥Syariat islam memperbolehkan menikahkan anak yang masih kecil (shoghir, shoghiroh) dengan tanpa memberi batasan usia pernikahan.
Baca juga: Hukum fiqih meningkahkan perempuan yang sedang hamil
Pernikahan merupakan hak individu dan wilayah orang tua atau keluarga (wilayah khossoh) sehingga pemerintah sebagai wali am tidak punya wewenang melarang pernikahan (membatasi usia minimal pernikahan).
Pembatasan tersebut cenderung mempersulit pernikahan sehingga dianggap menimbulkan mafsadah (berdampak negative) sementara maslahah yang dimaksud tidak muhaqqoqoh (tidak pasti)

شرح صحيح مسلم للنووي (2/ 48):
باب تزويج الأب البكر الصغيرة : @حدّثنا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمّدُ بْنُ الْعَلاءِ: حَدّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ. ح وَحَدّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: وَجَدْتُ فِي كِتَابِي، عَنْ أَبِي أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ. قَالَتْ: تَزَوّجَنِي رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم لِسِتّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ.

شرح صحيح مسلم للنووي (2/ 53):
حدّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شِيْبَةَ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ (وَاللّفْظُ لِزُهَيْرٍ) قَالاَ: حَدّثَنَا وَكِيعٌ: حَدّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ أُمَيّةَ، عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَت: تَزَوّجَنِي رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَوّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوّالٍ، فَأَيّ نِسَاءِ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنّي؟. قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوّالٍ.
وحدّثناه ابْنُ نُمَيْرٍ: حَدّثَنَا أَبِي: حَدّثَنَا سُفْيَانَ، بِهَذَا الإِسْنَادِ. وَلَمْ يَذْكُرْ فِعْلَ عَائِشَةَ.

فيه حديث عائشة رضي الله تعالى عنها قالت: (تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم لست سنين وبني بي وأنا بنت تسع سنين) وفي رواية: (تزوجها وهي بنت سبع سنين) هذا صريح في جواز تزويج الأب الصغيرة بغير إذنها لأنه لا إذن لها، والجد كالأب عندنا، وقد سبق في الباب الماضي بسط إِلاختلاف في اشتراط الولي، وأجمع المسلمون على جواز تزويجه بنته البكر الصغيرة لهذا الحديث، وإذا بلغت فلا خيار لها في فسخه عند مالك والشافعي وسائر فقهاء الحجاز، وقال أهل العراق: لها الخيار إذا بلغت، أما غير الأب والجد من الأولياء فلا يجوز أن يزوجها عند الشافعي والثوري ومالك وابن أبي ليلى وأحمد وأبي ثور وأبي عبيد والجمهور قالوا: فإن زوجها لم يصح. وقال الأوزاعي وأبو حنيفة وآخرون من السلف: يجوز لجميع الأولياء ويصح ولها الخيار إذا بلغت إلا أبا يوسف فقال لا خيار لها. واتفق الجماهير على أن الوصي الأجنبي لا يزوجها، وجوز شريح وعروة وحماد له تزويجها قبل البلوغ، وحكاه الخطابي عن مالك أيضاً والله أعلم. واعلم أن الشافعي وأصحابه قالوا: يستحب أن لا يزوج الأب والجد البكر حتى تبلغ ويستأذنها لئلا يوقعها في أسر الزوج وهي كارهة، وهذا الذي قالوه لا يخالف حديث عائشة لأن مرادهم أنه لا يزوجها قبل البلوغ إذا لم تكن مصلحة ظاهرة يخاف فوتها بالتأخير كحديث عائشة فيستحب تحصيل ذلك الزوج لأن الأب مأمور بمصلحة ولده فلا يفوتها والله أعلم. وأما وقت زفاف الصغيرة المزوجة والدخول بها فإن اتفق الزوج والولي على شيء لا ضرر فيه على الصغيرة عمل به، وإن اختلفا فقال أحمد وأبو عبيد: تجبر على ذلك بنت تسع سنين دون غيرها. وقال مالك والشافعي وأبو حنيفة: حد ذلك أن تطيق الجماع، ويختلف ذلك باختلافهن ولا يضبط بسن وهذا هو الصحيح، وليس في حديث عائشة تحديد، ولا المنع من ذلك فيمن أطاقته قبل تسع، ولا الإذن فيه لمن لم تطقه وقد بلغت تسعاً. قال الداودي: وكانت عائشة قد شبت

الأشباه والنظائر – شافعي (ص: 286(
القاعدة الثانية و الثلاثون الولاية الخاصة أقوى من الولاية العامة
ولهذا لا يتصرف القاضي مع وجود الولي الخاص و أهليته ، و لو أذنت للولي الخاص أن يزوجها بغير كفء ففعل صح أو للحاكم لم يصح في الأصح ، و للولي الخاص استيفاء القصاص و العفو على الدية و مجانا و ليس للإمام العفو مجانا ، و لو زوج الإمام لغيبة الولي و زوجها الولي النائب بآخر في وقت واحد و ثبت ذلك بالبينة قدم الولي إن قلنا : إن تزويجه بطريق النيابة عن الغائب و إن قلنا : أنه بطريق الولاية فهل يبطل كما لو زوج الوليان معا أو تقدم ولاية الحاكم لقوة ولايته و عمومها كما لو قال الولي : كنت زوجتها في الغيبة فإن نكاح الحكم يقدم كما صرحوا به تردد فيه صاحب الكفاية و الأصح : أن تزويجه بالنيابة بدليل عدم الانتقال إلى الأبعد فعلى هذا يقدم نكاح الولي ، { ضابط } الولي : قد يكون وليا في المال و النكاح كالأب و الجد ، و قد يكون في النكاح فقط كسائر العصبة و كالأب فيمن طرأ سفهها ، و قد يكون في المال فقط كالوصي
المواهب السنية للشيخ عبد الله بن سليمان الجرهزي ص : 568
القاعدة الثانية والثلاثون : الولاية الخاصة أقوى من الولاية العامة
ومن فروعها أن القاضي لا ولاية له مع وجود الاب او الجد (قوله مع وجود الاب الخ) لخبر : السلطان ولي من لا ولي له . والمراد بالسلطان ما يشمل القاضي

بغية المسترشدين للسيد عبد الرحمن باعلوي (ص :91، الحرمين)
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه
وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ.

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج (5/ 131)
وَلَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ بِنَفْسِهِ زَكَاةَ الْمَالِ الْبَاطِنِ ) وَهُوَ النَّقْدَانِ ، وَعُرُوضُ التِّجَارَةِ ، وَالرِّكَازُ كَمَا مَرَّ لِمُسْتَحِقِّهِ وَإِنْ طَلَبَهَا الْإِمَامُ وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُطَالِبَهُ بِقَبْضِهَا لِلْإِجْمَاعِ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ .نَعَمْ إنْ عَلِمَ أَنَّ الْمَالِكَ لَا يُزَكِّي فَعَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ لَهُ أَدِّهَا وَإِلَّا ادْفَعْهَا إلَيَّ .وَكَلَامُهُ قَدْ يُفْهِمُ جَوَازَ مُبَاشَرَةِ السَّفِيهِ لِذَلِكَ ، وَلَيْسَ مُرَادًا لِمَا سَيَأْتِي فِي الْحَجْرِ ( وَكَذَا الظَّاهِرُ ) وَهُوَ النَّعَمُ وَالْمُعَشَّرُ وَالْمَعْدِنُ كَمَا مَرَّ ( عَلَى الْجَدِيدِ ) قِيَاسًا عَلَى الْبَاطِنِ ، وَالْقَدِيمُ يَجِبُ صَرْفُهَا إلَى الْإِمَامِ أَوْ نَائِبِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً } الْآيَةَ ، وَظَاهِرُهُ الْوُجُوبُ ، هَذَا إنْ لَمْ يَطْلُبْهَا الْإِمَامُ ، فَإِنْ طَلَبَهَا وَجَبَ تَسْلِيمُهَا إلَيْهِ وَإِنْ كَانَ جَائِرًا بَذْلًا لِلطَّاعَةِ بِخِلَافِ زَكَاةِ الْمَالِ الْبَاطِنِ ، إذْ لَا نَظَرَ لَهُ فِيهَا كَمَا مَرَّ ، وَإِنَّمَا أُلْحِقَ الْجَائِرُ بِغَيْرِهِ لِنَفَاذِ حُكْمِهِ وَعَدَمِ انْعِزَالِهِ بِالْجَوْرِ ، فَإِنْ امْتَنَعُوا مِنْ تَسْلِيمِهَا إلَيْهِ قَاتَلَهُمْ ، وَإِنْ قَالُوا : نُسَلِّمُهَا لِلْمُسْتَحِقِّينَ بِأَنْفُسِنَا لِامْتِنَاعِهِمْ مِنْ بَذْلِ الطَّاعَةِ

الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 527):
)تنبيه( من المشكلات ما وقع في فتاوى النووي أنه لو أمر الإمام الناس بصوم ثلاثة أيام في الاستسقاء وجب ذلك عليهم بأمره حتى يجب تبييت النية قال القاضي جلال الدين البلقيني في حاشية الروضة وهذا كلام لم يقله أحد من الأصحاب بل اتفقوا على أن هذه الأيام يستحب الصوم فيها لا خلاف في ذلك وكيف يمكن أن يجب شيء بغير إيجاب الله أو ما أوجبه المكلف على نفسه تقربا إلى الله تعالى وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم للأعرابي الذي سأل عن الفرائض وقال هل علي غيرها قال لا فدل ذلك على أنه لا يجب شيء إلا بإيجاب الله تعالى في كتابه أو على لسان نبيه وقد أمر صلى الله عليه وسلم بصوم عاشوراء ولم يقل أحد بوجوبه مع أن أمره عليه الصلاة والسلام أعظم من أمر الأئمة ثم إن نص الإمام الشافعي دال على ذلك أيضا فإنه قال في الأم وبلغنا عن بعض الأئمة أنه كان إذا أراد أن يستسقي أمر الناس فصاموا ثلاثة أيام متتابعة وتقربوا إلى الله تعالى بما استطاعوا من خير ثم خرجوا في اليوم الرابع فاستسقى بهم وأنا أحب ذلك لهم وآمرهم أن يخرجوا في اليوم الرابع صياما من غير أن أوجب عليهم ولا على إمامهم انتهى

الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 105):
خاتمة ينقض قضاء القاضي إذا خالف نصا أو إجماعا أو قياسا جليا قال القرافي أو خالف القواعد الكلية قال الحنفية أو كان حكما لا دليل عليه نقله السبكي في فتاويه قال وما خالف شرط الواقف فهو مخالف للنص وهو حكم لا دليل عليه سواء كان نصه في الوقف نصا أو ظاهرا قال وما خالف المذاهب الأربعة فهو كالمخالف للإجماع قال وإنما ينقض حكم الحاكم لتبين خطئه والخطأ قد يكون في نفس الحكم بكونه خالف نصا أو شيئا مما تقدم وقد يكون الخطأ في السبب كأن يحكم ببينة مزورة ثم يتبين خلافه فيكون الخطأ في السبب لا في الحكم وقد يكون الخطأ في الطريق كما إذا حكم ببينة ثم بان فسقها وفي هذه الثلاثة ينقض الحكم بمعنى أنا تبينا بطلانه فلو لم يتعين الخطأ بل حصل مجرد التعارض كقيام بينة بعد الحكم بخلاف البينة التي ترتب الحكم عليها فلا نقل في المسألة والذي يترجح أنه لا ينقض لعدم تبين الخطأ

قواعد الأحكام في مصالح الأنام للإمام عز الدين بن عبد السلام (ج :2 ص: 75، دار الكتب العلمية)
فصل: في تصرف الولاة ونوابهم : يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد، وجلبا للنفع والرشاد، ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة،

قواعد الأحكام في مصالح الأنام (1/ 83):
إذا اجتمعت مصالح ومفاسد فإن أمكن تحصيل المصالح ودرء المفاسد فعلنا ذلك امتثالا لأمر الله تعالى فيهما لقوله سبحانه وتعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}، وإن تعذر الدرء والتحصيل فإن كانت المفسدة أعظم من المصلحة درأنا المفسدة ولا نبالي بفوات المصلحة، قال الله تعالى: {يَسْأَلونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا}. حرمهما لأن مفسدتهما أكبر من منفعتهما.

2. Jika tidak boleh, bagaimana hukum melangsungkan pernikahan dibawah batas usia yang ditentukan pemerintah?
Jawaban :
Hukum melangsungkan pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dianggap khuruj min amril imam.

شرح الورقات هامش النفحات 21
والصحيح من حيث وصفه بالصحة ما يتعلق به النفوذ ويعتد به بأن استجمع مايعتبر فيه شرعا اي من الاركان والشروط عقدا كان اوعبادة
قواعد الأحكام في مصالح الأنام للإمام عز الدين بن عبد السلام (ج :2 ص: 75، دار الكتب العلمية)
فصل: في تصرف الولاة ونوابهم : يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد، وجلبا للنفع والرشاد، ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة،
بغية المسترشدين للسيد عبد الرحمن باعلوي (ص :91، الحرمين)
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه

HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL PWNU JATENG
DI STAINU TEMANGGUNG
Senin, 05 Dzul Qo’dah 1437 H./ 08 Agustus 2016 M.I.
Dewan Mushohih/Dewan Perumus
Kh Ubaidillah Shodaqoh (Rois PWNU Jateng)
Kh A’wani Sya’rowi (Wakil Rois PWNU Jateng)
Kh Ahmad Roziqin (Wakil Rois PWNU Jateng)
Kh Imam Sya’roni (Katib PWNU Jateng)
Kh Abdur Rosyid (wakil katib PWNU Jateng)
Kh Imam Abi Jamroh (Ketua LBM PWNU Jateng)
Kh Busyro Musthofa (Wk. Ketua LBM PWNU jateng)
II. Pimpinan Sidang
Jalsah I
Kh Hudallah RidwanKy Zaenal Amin
Jalsah II
Ky Z. Amin muhyiddinKh Hudallah Ridwan
III. Notulen
Kh Muhammad Fhaisol
Ky Nur Aziz
IV. Peserta
Syuriyah PWNU Jateng
LBM PWNU Jateng
Syuriah PCNU se JatengLBM PCNU Se Jateng
 Team Perumus :
LBM PWNU Jateng
Kh. Imam Abi Jamroh (Ketua)
Z. Amin Muhyiddin (Sekretaris)

Fiqih Tentang Nafaqoh Suami Kepada Istri

April 24, 2017

Benangmerahdasi -Fiqih keluarga (tentang nafaqoh)

No: 00210
[tentang nafaqoh]
Hallo benangmerah
WA: 081384451265


PERTANYAAN
KETIKA SUAMI MEMBERIKAN SEMUA GAJI SETIAP BULANNYA,APAKAH SEPENUHNYA MENJADI MILIK SI ISTRI..?

JAWABAN
Apakah setiap pemberian suami menjadi milik istri?
”Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani di dalam kitabnya (Tausyih ‘Ala Ibni Qasim) menjelaskan bahwa jika seorang suami membeli perhiasan untuk istrinya agar dijadikan alat perias diri selagi bersamanya, maka ia tidak mempunyai hak kepemilikan terhadapnya keculai ada shighat (ungkapan serah-terima; ijab-qabul) dari suami.
Dan demikian juga jika buah hatinya dipakaikan perhiasan tanpa adanya shighat hingga andai si buah hati meninggal dunia, maka ibunya tidak dapat mewarisi perhiasan tersebut darinya, karena barang tersebut tetap atas kepemilikan bapaknya.
Baca juga: Penjelasan fiqih tentang suami merujuk istri lewat telfon
Di dalam sebuah literatur Fiqh kontemporer (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah) juga dijelaskan bahwa ketika pemberian (hibah) telah sah dengan syarat-syaratnya terdahulu, maka kepemilikan adalah bagi orang yang menerima pemberian dalam barang yang diberikan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak setiap pemberian suami menjadi milik istri, namun jika pemberian tersebut melalui mekanisme serah terima (ijab-qabul), maka menjadi milik istri. Wallahu a’lam bis shawab.
Dasar pengambilan ;

:ولو اشترى الزوج لزوجته حليا للتزين به ما دامت عنده، لم تملكه إلا بصيغة ويصدق في ذلك، وكذا لو زين به ولده الصغير من غير صيغة، حتى لو مات الولد لم ترث منه أمه، لأنه باق على ملك أبيه. إهـ. توشيح على ابن قاسم ص 176 دار الفكر
:ثُبُوتُ الْمِلْكِ لِلْمَوْهُوبِ لَهُ : 38 إِذَا تَمَّتِ الْهِبَةُ صَحِيحَةً بِشُرُوطِهَا الْمُتَقَدِّمَةِ فَإِنَّ الْمِلْكَ يَثْبُتُ لِلْمَوْهُوبِ لَهُ فِي الشَّيْءِ الْمَوْهُوبِ. الموسوعة الفقهية الكويتية - (ج 42 / ص 147)

Daftar Pustaka:
1. Tausyih ‘Ala Ibni Qasim. 176
2. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah. XLII/ 147

Hukum Fiqih Melakukan Hubungan Intim Dengan Pasangan Namun Membayangkan Orang Lain

April 23, 2017

BenangmerahDasi - NO:00205 FIQIH KELUARGA [berimajinasi dengan orang lain]

Fiqih Keluarga
No: 00205
Hallo Benangmerah
WA:0813 84451265


PERTANYAAN

BOLEHKAH MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM DENGAN PASANGAN,NAMUN MEMBAYANGKAN ORANG LAIN...?

JAWABAN

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:

الْعَيْنُ تَزْنِي، وَالْقَلْبُ يَزْنِي، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا الْقَلْبِ التَّمَنِّي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ مَا هُنَالِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata dengan melihat (yg diharamkan), zina hati dengan
membayangkan (pemicu syahwat yg terlarang). Sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan semua itu.” (HR. Ahmad)

Hadits di atas menjelaskan bahwa semua anggota tubuh manusia, berpotensi melakukan zina. Termasuk hati dan perasaan. Dalam hadits di atas, Nabi menjelaskan bentuk zina hati, yaitu seseorang membayangkan melakukan sesuatu yang haram yang membangkitkan syahwat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sejenis.

Karena itu, sebagian ulama melarang dan mengharamkan tindakan ini, termasuk ketika pasangan suami istri sedang bercinta. Suami membayangkan wanita lain, atau istri membayangkan pria lain.
Ibnul Hajj Al-Maliki (w. 737 H) mengatakan:

من هذه الخصلة القبيحة التي عمت بها البلوى في الغالب، وهي أن الرجل إذا رأى امرأة أعجبته، وأتى أهله جعل بين عينيه تلك المرأة التي رآها، وهذا نوع من الزنا

”Termasuk perbuatan tercela yg merebak di masyarakat pada umumnya adalah seorang lelaki melihat seorang wanita yg menarik hatinya, kemudian lelaki itu mendatangi istrinya (jima’), dia membayangkan wanita yg tadi dilihatnya berada di hadapannya maka ini termasuk zina.
Kemudian Ibnul Hajj menyebutkan beberapa contoh. Selanjutnya beliau menegaskan,

وما ذكر لا يختص بالرجل وحده بل المرأة داخلة فيه بل هي أشد؛ لأن الغالب عليها في هذا الزمان الخروج أو النظر من الطاق فإذا رأت من يعجبها تعلق بخاطرها، فإذا كانت عند الاجتماع بزوجها جعلت تلك الصورة التي رأتها بين عينيها، فيكون كل واحد منهما في معنى الزاني نسأل الله السلامة بمنه

"Keterangan ini tidak hanya untuk kaum lelaki saja akan tetapi juga untuk para wanita bahkan lebih sangar lagi. Karena yang banyak terjadi pada wanita di zaman ini keluar rumah dan memandang sekitarnya. Apabila seorang wanita melihat seorang laki-laki yang menarik perhatiannya, wajahnya bersemayam dalam hatinya. Ketika dia berjima’ dengan suaminya, dia membayangkan lelaki yg dilihatnya di depan matanya. Dan keduanya termasuk berzina.. kita meminta perlindungan kepada Allah… (Kitab Al-Madkhal Ibnul Hajj, 2/195)
Baca juga: Hukum fiqih melakukan hubungan suami istri denga dua istri dalam satu ranjang
▪An-Nawawi dalam karyanya, Al-Azkar, mengatakan,

الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء، لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه

"Lintasan pikiran dan bisikan hati, jika tidak mengendap dan tidak keterusan berada dalam diri pelakunya, hukumnya dima'afkan, dengan sepakat ulama. Karena munculnya kejadian ini di luar pilihan darinya. Sementara tidak ada celah baginya untuk menghindarinya.

An-Nawawi melanjutkan,

وهذا هو المراد بما ثبتَ في الصحيح عن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: ” إنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي ما حَدَّثَتْ بِهِ أنْفُسَها ما لَمْ تَتَكَلَّم بِهِ أوْ تَعْمَلْ “. قال العلماء: المراد به الخواطر التي لا تستقرّ.

Inilah makna dari hadits shahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي ما حَدَّثَتْ بِهِ أنْفُسَها ما لَمْ تَتَكَلَّم بِهِ أوْ تَعْمَلْ

"Sesungguhnya Allah mengampuni untuk umatku terhadap apa yang terlintas dalam hatinya, selama tidak diucapkan atau dikerjakan." (HR. Muslim 127).

Dalam Hadits Qudsi dinyatakan bahwa:

وإذا تحدث عبدي بأن يعمل سيئة فأنا أغفرها له ما لم يعملها، فإن عملها فأنا أكتبها له بمثلها، وإن تركها فاكتبوها له حسنة ، إنما تركها من جراي" أي من أجلي

"Apabila hambaku bermonolog (memikirkan) untuk melakukan satu kejahatan , maka Aku (Allah) akan mengampunkannya selama ia tidak melakukannya, dan jika ia melakukannya maka akan dituliskan baginya satu dosa, dan jika ditinggalkannya dituliskannya satu pahala, sesungguhnya ditinggalkannya itu kerana-KU" (HR. Muslim)

An-Nawawi melanjutkan,

قالوا: وسواءٌ كان ذلك الخاطِرُ غِيبة أو كفراً أو غيرَه، فمن خطرَ له الكفرُ مجرّد خَطَرٍ من غير تعمّدٍ لتحصيله، ثم صَرفه في الحال، فليس بكافر، ولا شئ عليه.

"Para ulama mengatakan, baik bisikan itu berupa ghibah, atau kekufuran, atau yang lainnya. Siapa yang terlintas dalam hatinya kekufuran, dan hanya sebatas lintasan tanpa sengaja muncul, kemudian segera dia hilangkan, maka dia tidak kafir, dan tidak bersalah sedikitpun. [Al-Azkar An-Nawawi, hlm. 345].

Dua hadits riwayat Imam Muslim diatas salah satu yang dijadikan landasan ulama membolehkan lintasan hati (membayangkan orang lain saat suami istri bercinta).

Penjelasan pro kontra diatas sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Kitab Tuhfah Al-Muhtaj sbb:

ُ بِمَا فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مِنْ أَمْرِ { مَنْ رَأَى امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ أَنَّهُ يَأْتِي امْرَأَتَهُ فَيُوَاقِعُهَا } ا هـ وَفِيهِ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّ إدْمَانَ ذَلِكَ التَّخَيُّلِ يُبْقِي لَهُ تَعَلُّقًا مَا بِتِلْكَ الصُّورَةِ فَهُوَ بَاعِثٌ عَلَى التَّعَلُّقِ بِهَا لَا أَنَّهُ قَاطِعٌ لَهُ وَإِنَّمَا الْقَاطِعُ لَهُ تَنَاسِي أَوْصَافِهَا وَخُطُورِهَا بِبَالِهِ وَلَوْ بِالتَّدْرِيجِ حَتَّى يَنْقَطِعَ تَعَلُّقُهُ بِهَا رَأْسًا

وَقَالَ ابْنُ الْحَاجِّ الْمَالِكِيِّ يَحْرُمُ عَلَى مَنْ رَأَى امْرَأَةً أَعْجَبَتْهُ وَأَتَى امْرَأَتَهُ جَعْلُ تِلْكَ الصُّورَةِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَهَذَا نَوْعٌ مِنْ الزِّنَا كَمَا قَالَ عُلَمَاؤُنَا فِيمَنْ أَخَذَ كُوزًا يَشْرَبُ مِنْهُ فَتَصَوَّرَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ أَنَّهُ خَمْرٌ فَشَرِبَهُ أَنَّ ذَلِكَ الْمَاءَ يَصِيرُ حَرَامًا عَلَيْهِ ا هـ
وَرَدَّهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ بِأَنَّهُ فِي غَايَةِ الْبُعْدِ وَلَا دَلِيلَ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا بَنَاهُ عَلَى قَاعِدَةِ مَذْهَبِهِ فِي سَدِّ الذَّرَائِعِ وَأَصْحَابُنَا لَا يَقُولُونَ بِهَا وَوَافَقَهُ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ الزَّاهِدُ ، وَهُوَ شَافِعِيٌّ غَفْلَةً عَنْ هَذَا الْبِنَاءِ ا هـ

وَقَدْ بَسَطْت الْكَلَامَ عَلَى هَذِهِ الْآرَاءِ الْأَرْبَعَةِ فِي الْفَتَاوَى وَبَيَّنْت أَنَّ قَاعِدَةَ مَذْهَبِهِ لَا تَدُلُّ لِمَا قَالَهُ فِي الْمَرْأَةِ وَفَرَّقَتْ بَيْنَهَا وَبَيْنَ صُورَةِ الْمَاءِ بِفَرْقٍ وَاضِحٍ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ فَرَاجِعْ ذَلِكَ كُلَّهُ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ فَإِنْ قُلْت يُؤَيِّدُ التَّحْرِيمَ قَوْلُ الْقَاضِي حُسَيْنٍ كَمَا يَحْرُمُ النَّظَرُ لِمَا لَا يَحِلُّ يَحْرُمُ التَّفَكُّرُ فِيمَا لَا يَحِلُّ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ } فَمَنَعَ مِنْ التَّمَنِّي لِمَا لَا يَحِلُّ كَمَا مَنَعَ مِنْ النَّظَرِ لِمَا لَا يَحِلُّ قُلْت اسْتِدْلَالُ الْقَاضِي بِالْآيَةِ وَقَوْلُهُ عَقِبَهَا فَمَنَعَ مِنْ التَّمَنِّي إلَخْ صَرِيحَانِ فِي أَنَّ كَلَامَهُ لَيْسَ فِيمَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ التَّفَكُّرِ وَالتَّخَيُّلِ السَّابِقَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ فِي حُرْمَةِ تَمَنِّي حُصُولِ مَا لَا يَحِلُّ لَهُ بِأَنْ يَتَمَنَّى الزِّنَا بِفُلَانَةَ ، أَوْ أَنْ تَحْصُلَ لَهُ نِعْمَةُ فُلَانٍ بَعْدَ سَلْبِهَا عَنْهُ وَمِنْ ثَمَّ ذَكَرَ الزَّرْكَشِيُّ كَلَامَهُ فِي قَاعِدَةِ حُرْمَةِ تَمَنِّي الرَّجُلِ حَالَ أَخِيهِ مِنْ دِينٍ ، أَوْ دُنْيَا قَالَ وَالنَّهْيُ فِي الْآيَةِ لِلتَّحْرِيمِ وَغَلَّطُوا مَنْ جَعَلَهُ لِلتَّنْزِيهِ نَعَمْ إنْ ضَمَّ فِي مَسْأَلَتِنَا إلَى التَّخَيُّلِ وَالتَّفَكُّرِ تَمَنِّيَ وَطْئِهَا زِنًا فَلَا شَكَّ فِي الْحُرْمَةِ ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ مُصَمِّمٌ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا رَاضٍ بِهِ وَكِلَاهُمَا حَرَامٌ وَلَمْ يَتَأَمَّلْ كَلَامَ الْقَاضِي هَذَا مَنْ اسْتَدَلَّ بِهِ لِلْحُرْمَةِ وَلَا مَنْ أَجَابَ عَنْهُ بِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ تَحْرِيمِ التَّفَكُّرِ تَحْرِيمُ التَّخَيُّلِ إذْ التَّفَكُّرُ إعْمَالُ النَّظَرِ فِي الشَّيْءِ كَمَا فِي الْقَامُوسِ ا هـ

(Kitab Tuhfah Al-Muhtaj 29/272 - 275)

Hukum Fiqih Menikahkan Perempuan yang Sedang Hamil

April 23, 2017

BenangmerahDasi -Fiqih bab nikah [Tentang menikahi wanita hamil]

Fiqih bab nikah
No: 00052
Hallo benangmerah
WA : 081384451265

PERTANYAAN
1. Bagaimana hukum menikahkan perempuan yang sedang hamil?
2. Bolehkah wanita tersebut dikumpuli (dijimak) setelah melangsungkan akad nikah?
3. Bagaimanakah status anak yang dilahirkan itu (waris)?
4. Bila anak yang dilahirkan itu perempuan siapa wali nikahnya?

JAWABAN
1. Wanita yang hamil di luar nikah boleh dinikahkan oleh walinya, karena kehamilan tersebut tidak dihormati oleh agama.
2. Wanita tersebut boleh dijimak oleh suami yang baru menikahinya.
3. Status dari anak yang lahir dari wanita tersebut hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya saja dan tidak kepada bapaknya yang menikahi ibunya setelah hamil, meskipun benih yang menjadi anak tersebut adalah benihnya sendiri (bila yang mengawini adalah yang menghamili).
4. Jika anak tersebut perempuan, maka yang menjadi walinya adalah hakim. Bahkan andaikata laki-laki yang membuahi ibunya itu tidak mengawini ibunya, maka jika anak perempuan yang lahir dari benihnya tersebut sudah dewasa, laki-laki yang benihnya menjadi anak perempuan tersebut (ayah biologis) boleh mengawininya.
Baca juga: Tentang hak dan kewajiban suami istri di dalam hal hubungan intim
Tentang dasar hukumnya, kami persilahkan meneliti dalil-dalil berikut ini.
1. Fiqh ala Madzahibil Arbaah juz 4 halaman 533

أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى

Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada ‘iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii.

2. Al-Muhadzdzab juz 2 halaman 113

وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِه

ِBoleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya
kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya.

3. Bughyatul Musytarsyidin halaman 201

(مَسْأَلَةُ ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَة

ِ(masalah shin); Boleh menikahi wanita yang hamil dari
perzinaan, baik oleh laki-laki yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh.

4. Mughni Muhtaj juz 3 halaman 152

لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ لِمَنْ لاَ وَلِيَ لَه

ُ.… karena sabda Nabi saw maka sultan/pemerintah adalah wali dari orang yang sama sekali tidak ada wali baginya.

Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Hal Hubungan Intim

April 11, 2017

BenangmerahDasi -Fiqih Munakahat [serba-serbi rumah tangga]

Fiqih munakahat
No: 00156
Hallo benangmerah
WA:081384451265

PERTANYAAN
1. ADAKAH ADA FREKUENSI DALAM HUBUNGAN SUAMI ISTRI..?
2. BAGAIMANA HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM HAL HUBUNGAN INTIM..?

JAWABAN

1. ATURAN WAKTU HUBUNGAN INTIM SUAMI ISTRI

Tidak ada aturan khusus dalam syariah tentang waktu minimal seorang suami memberi nafkah batin (hubungan intim, jimak) pada istrinya. Jadi, kembali pada kebutuhan kedua belah pihak.
Kalau suami merasa tidak ingin berhubungan sedangkan istri juga tidak memintanya, maka tidak masalah.
Yang pasti, nafkah batin itu kewajiban suami dan hak bagi istri sama dengan nafkah lahir. Kalau istri meminta maka harus dipenuhi kalau mampu.
Dan suami harus menyiapkan diri untuk mampu memenuhi kebutuhan istri dalam soal nafkah lahir dan batin tersebut.
Dan untuk ini, suami harus bisa menjaga dan mengatur waktu dengan baik dan seimbang bahkan untuk ibadah sekalipun.
Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 11/634, menyatakan:

لا ينبغي للزوج أن يجهد نفسه في العبادة حتى يضعف عن القيام بحقها من جماع واكتساب

Artinya:
Suami hendaknya tidak terlalu memforsir diri dalam ibadah yang akan menyebabkan lemahnya suami untuk menunaikan hak istri seperti hubungan intim dan memberi nafkah.
Ibnu Qudamah (ulama madzhab Hanbali) dalam Al-Mughni, hlm. 7/30, menyatakan:

والوطء واجب على الرجل - أي الزوج بأن يجامع زوجته - إذا لم يكن له عذر ، وبه قال مالك

Artinya:
Hubungan intim itu wajib bagi suami - yakni dengan menjimak istrinya - apabila tidak ada udzur bagi suami. Ini juga pendapat Imam Malik.

2.HUKUM SUAMI YANG TIDAK MAU HUBUNGAN INTIM

Ada perbedaan ulama tentang suami yang tidak mau hubungan intim dan berapa kali harus hubungan intim dengan istrinya.
Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 11/634, menyatakan:

واختلف العلماء فيمن كف عن جماع زوجته فقال مالك : إن كان بغير ضرورة ألزم به أو يفرق بينهما ، ونحوه عن أحمد ، والمشهور عند الشافعية أنه لا يجب عليه ، وقيل يجب مرة ، وعن بعض السلف في كل أربع ليلة ، وعن بعضهم في كل طهر مرة .

Artinya:
Ulama berbeda pendapat tentang suami yang tidak mau menjimak istrinya.
Imam Malik berkata: "Apabila tanpa adanya darurat, maka harus diwajibkan atau dipisah keduanya." Begitu juga pendapat Imam Ahmad.
Pendapat yang populer menurut madzhab Syafi'i adalah tidak wajib jimak. Pendapat lain menyatakan: Wajib satu kali. Menurut sebagian ulama Salaf: Wajib setiap empat malam sekali. Pendapat sebagian ulama menyatakan: Wajib jimak sekali setiap masa suci.
Intinya adalah dalam hubungan intim adalah kewajiban suami dan hak istri. Apabila istri meminta wajib dipenuhi selagi suami mampu dan tidak ada halangan.
Baca juga: Fiqih muanakat tentang perjodohan orang tua
ISTRI MENOLAK HUBUNGAN INTIM

Dalam Islam, istri harus selalu taat pada suaminya kecuali dalam hal maksiat. Apabila suami meminta hubungan intim, maka istri harus menerimanya dan berdosa apabila menolak. Nabi bersabda dalam hadits sahih riwayat Bukhari Muslim:

إذا باتت المرأة مهاجرة فراش زوجها لعنتها الملائكة حتى ترجع. وفي رواية: حتى تصبح.

Artinya: Apabila istri menolak ajakan hubungan intim suami maka ia dilaknat malaikat sampai pagi besoknya.
Larangan menolak permintaan suami tersebut apabila istri tidak ada halangan. Apabila ada halangan, seperti haid, nifas, sedang puasa Ramadhan, dsb, maka istri bukan hanya boleh menolak, tapi bahkan wajib menolaknya. Apabila halangan itu bersifat kesehatan, maka istri boleh menolak.
 
Copyright © benangmerahdasi.com. Designed by OddThemes & VineThemes