KAJIAN KITAB

AZWAJA

ASBABUN NUZUL

Latest Updates

Showing posts with label SEJARAH ASWAJA. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH ASWAJA. Show all posts

Kitab Fiqih KH. Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah dan Biografi Singkatnya

January 10, 2018

Kitab Fiqih KH. Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah dan Biografi Singkatnya
Kitab Fiqih KH. Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah dan Biografi Singkatnya 

Benangmerahdasi  -Kitab Fiqih KH. Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah

Berikut kutipan kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).

2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).

3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).

4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).

5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).

6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).

7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).

8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Baca Juga: Habib Kwitang: Jangan Hina Gus Dur, Seluruh wali di bumi kenal Gus Dur
Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.
Baca Juga: Kisah Kezuhudan Mbah Abdul Karim
Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”

Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.

Masihkah di antara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?

DASIKU,DASIMU,DASIKITA,dasiNU
BY. AL MAJNUNI MUROKAB

DASI Dagelan Santri Indonesia

Habib Kwitang: Jangan Hina Gus Dur, Seluruh Wali di Bumi Kenal Gus Dur

January 07, 2018
Habib Kwitang: Jangan Hina Gus Dur, Seluruh Wali di Bumi Kenal Gus Dur
Habib Kwitang: Jangan Hina Gus Dur, Seluruh Wali di Bumi Kenal Gus Dur
Benanmerahdasi - Habib Kwitang: Jangan hina Gus Dur, seluruh wali di bumi kenal Gus Dur

Pada suatu ketika Habibana Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri Tebet memanggil muridnya yang paling senior yaitu KH. Fakhrur I. dan Habib Idrus J. mengenai hal penghinaan yang dilakukan kedua muballigh itu kepada Gus Dur yang pada saat itu telah menjadi Presiden RI ke-4.

Menurut penuturan Ustadz Anto yang ketika itu hadir di pengajian hari Senin pagi itu Al-Walid bertanya kepada jama'ah yang hadir, "Aina Rozi wa Idrus bin Alwi...?"
Dan keduanya yang hadir mengaji sama menyahut, "Maujud ya habib."
Lalu Habibana berkata, "Ente berdua jangan pulang ya, ana ada perlu."

"Ya Rozi ya Ye' Idrus, ente berdua kalau jadi muballigh gak usah kata-kata kotor sama orang, apalagi sama cucunya KH. Hasyim Asy'ari itu. Ente tahu yang namanya Gus Dur itu siapa? Biar ente faham ya... seluruh Auliya'illah min Masyariqil Ardhi ilaa Maghoribiha, kenal dengan Gus Dur dan ente ini siapa berani mencela -cela dia. Dan ana sangat malu kalau ada murid atau orang yg pernah belajar sama ana menghina Gus Dur dan juga menghina lainnya. Kalau ente belum bisa jadi seperti Gus Dur, diam lebih baik. Kalau sudah bisa jadi seperti Gus Dur, ngomong dah sana sampe berbusa-berbusa."

Maka sejak mendapat teguran dari Al Walid itulah, KH. Fakhr i.dan Habib Idrus bungkam kalau pas bicara masalah Gus Dur.
Diperoleh keterangan ternyata Gus Dur adalah murid langsung dari Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang. Gus Dur waktu kecil diajak ayahnya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Dan di Jakarta beliau sempat mengkhatamkan 9 kitab di hadapan Habib Ali Al Habsyi.

Sewaktu masih menjabat presiden, Gus Dur pernah hadir di Majelis Ta'lim Kwitang. Beliau datang ba'da shubuh tanpa pengawalan ketat dan Gus Dur duduk ikut pembacaan Asmaul Husna sampai selesai.

"Aduh Pak Presiden, kalau kesini kasih kabar dong," kata Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi.
"Mending begini bib, kalo kasih kabar ya nanti kasihan jama'ah bisa jadi repot," jawab Gus Dur.
Dan setahun sebelum Gus Dur wafat, beliau mau ziarah di waktu Maulid di Kwitang, lalu Habib Abdurrahman Al Habsyi berkata, "Kalau ada yang tahu Gus Dur kemari, cepat kabarin ana ya."
Baca Juga: Pesan KHR As'sad Syamsul Arifin Istiqomah dalam berAWSAJA

Tapi dari pihak Gus Dur tidak ada kabarnya dan Yenni Wahid waktu dihubungi tidak menjawab. Dan ternyata Gus Dur nyarkub di jam 11 malam dan itu menurut penuturan pengurus Masjid Ar-Riyadh. Begitulah Gus Dur, beliau orangnya tidak mau merepotkan orang lain.

Kedekatan Gus Dur dengan Habib Ali
Perlu di ketahui bahwa tatkala organisasi NU akan masuk ke Batavia/Jakarta,para Ulama NU terlebih dulu meminta restu AlHabib Ali bin Abdurrahman AlHabsyi Kwitang,lalu Habib Ali meminta kepada KH Ahmad Marzuki bin Mirshod muara untuk melihat perkembangan NU bilkhusus didaerah Jombang,untuk melihat NU secara lebih dekat.

Setelah sekembalinya KH Ahmad Marzuki bin Mirshod beliau khabarakan kepada Habib Ali tentang Organisasi NU yang dudirikan oleh Para Ulama Ahlussunah Waljamaah,lalu Habib Ali memerintahkan segenab murid muridnya untuk membantu Perjuangan NU dan terjun langsung dalam organisasi tersebut.

Diantara para Ulama Betawi yang merupakan Murid dari Unwanul Falah yang terjun didalamnya adalah

● KH Naim ( ayah KH Abdul Hay Naim )
● KH Thohir Rohili
● KH Ahmad Mursidi
● KH Ali Sibro Malisi

Dan para Ulama lainnya serta seluruh Murid dan Putra dari KH Ahmad Marzuki pun turut serta.
KH Hasyim Asyari bila datang ke Betawi menyempatkan diri untuk datang dan hadir di Pengajian Hari Minggu paginya Habib Ali di Kwitang,dan KH Hasyim Asyari mengingatkan kepada para putranya bila ke Betawi untuk menemui dan meminta Nasehat serta Doa Dari Habib Ali dimana sama kita ketahui dikala KH Wahid Hasyim ditunjuk sebagai mentri oleh Bung Karno hubungan KH Hasyim dilanjutkan oleh Sang Putra dengan seringnya bersilaturrahmi ke pada Habib Ali,bahkan sang Cucu Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengaji dan membaca Kitab didepan Habib Ali,sebagaimana langsung dikatakan oleh GusDur sendiri bahwa beliau mengkhatamkan beberapa kitab kecil dihadapan Habib Ali,

" saya ini waktu kecil dibawa ayah saya menemui Habib Ali Kwitang,saya tanya kepada ayah saya ....... siapa Beliau,apa sama dengan Mbah yang ada dikampung
Lalu ayah saya bilang ....... beliau adalah Habib Ali AlHabsyi cucunya Kanjeng Nabi SAW,yang merupakan Ulama Besarnya Tanah Betawi dan menjadi Guru Besar Ulama untuk orang Betawi,ndengar begitu ya saya bilang sama ayah saya dan meminta idzin untuk ngambil Barakah dari beliau dan ingin membaca Kitab ........ Ya Walaupun itu kitabnya kitab kecil ( maksudnya tidak tebal ) yang penting mbaca depan Habib
Baca Juga: Sejarah Sholawat Badar

Ya Alhamdulillah biar begini saya ini sudah Khatam buanyak Kitab walau kitabnya itu ndak besar dihadapan seorang Ulama besar dari keluarganya Rosululloh SAW "
( di sampaikan di acara Maulid Nabi SAW Th 1990an di daerah Comal )

Belum lagi tatkala PBNU dibawah kepemimpinan KH Idcham khalid,terasa makin erat Hubungan Para Habaib dan Ulama NU di Betawi ini,sampai sampai Habib Ali menganggap KH Idham Khalid adalah anaknya sendiri,beberapa kali Habib Ali mengahdiri acara acara NU baik rapat Akbar dan Musyawarah Nasional yang diadakan di Betawi,bahkan rombongan para Kiai dari Jawa bila NU mengadakan acara di Betawi selalu akan menyempatkan Hadir di Majlisnya Habib Ali di Kwitang,sebagaimana pernah di pimpin oleh KH Wahab Hasbulloh didampingi oleh KH Bagir Marzuqi.

Begitu indahnya Hubungan NU dan Habaib dijakarta sudah ada sejak dulu dan KH Abdurrahman Wahid dikala beliau menjadi Presiden beliau menyempatkan untuk mengambil keberkahan dan berziarah ke Makam Habib Ali AlHabsyi di Kwitang yang merupakan Guru beliau juga karna dimasa kecilnya pernah membaca Kitab dihadapan Langsung Habib Ali.

Ke indahan yang sudah ada jangan di rusak oleh orang orang yang tidak mengerti akan Sejarah
Dan Presiden Soekarno di acara Hut Kemerdekaan RI tahun 1966 di Gelora BungKarno di Senayan menyatakan

" Bangsa yang baik adalah Bangsa yang tidak melupakan Sejarah,Jangan Sekali kali melupakan Sejarah "

DASI Dagelan Santri Indonesia
Dasiku,Dasimu,Dasikita ,dasiNU
By. AL MAJNUNI MUROKAB

Kisah Kezuhudan Mbah Abdul Karim

December 15, 2017


Kisah Kezuhudan Mbah Abdul Karim
Kisah Kezuhudan Mbah Abdul Karim

Benangmerahdasi -Kisah Kezuhudan Mbah Abdul Karim, tidak pernah tidur kasur seperti Rosululloh SAW.

Seorang ulama besar dengan segudang ilmu dan pengalaman yaitu beliau Seikhona Abdul Karim Lirboyo santri Seikhona Kholil Bangkalan dan teman dekat Seikhona Hasyim Asy'ari Tebu Ireng, Beliau di bukakan oleh mertuanya Syeik Sholeh Banjar melati sebuah lahan pesantren di Desa tua bernama Lirboyo.

Dengan dibuatkan sebuah gubuk kecil di tengah tanah yang masih penuh semak belukar dan angker sama dengan namanya Lirboyo (Lir Kang Wahoyo) atau tempat pendidikan sang raja tersohor se nusantara dulu yakni Joyoboyo di bawah asuhan Guru Syaik Wasil dan yang lain (versi mata batin kulo piyambak) tanah penuh Atsarus Sholihin.

Cerita kezuhudan dan kealiman beliau Syaikhona Abdul Karim menjadikan sinar terang yang menghipnotis para santri se Nusantara untuk mondok di tempat beliau dan barokah serta himbauan Syikhona Kholil Bangkalan kepada para santri dan khalayak dengan pernyataan beliau "Ilmuku sudah habis di bawa oleh Santriku yang bernama Manab atau Abdul Karim" dan wal hasil santri mbah Karim luar biasa banyak.

Suatu ketika ada tamu orang terkaya di kabupaten Kudus pemilik pabrik rokok zaman dulu'' pabrik jambu bol Kudus'', Tamu kaya ini ingin memberi fasilitas modern yakni kasur agar yai Abdul karim tidur dengan pulas dan nyenyak.
Baca juga: Sejarah singkat KH.Abdul Karim Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Yai Abdul Karim awalnya menolak akan tetapi kasihan sudah jauh-jauh di beri kasur dari kudus maka beliau meneriam tapi tidak memakainya.

Selang waktu berapa jam setelah tamu kudus pulang, datanglah mertua beliau yaitu Syaik Sholeh dengan berjalan kedalam rumah menantunya dan bertanya kepada sang menantu: Nak Karim, Abah mau tanya..? boleh ya ? Yai karim menjawab: boleh, monggo Abah, Tanglet nopo (pertanyaan apa), Seikh Sholeh: Aku kok lupa hadits yang menerangkan tidurnya Rosululloh SAW.? tolong carikan haditsnya ya nak..

Kontan saja sang menantu kaget pasti mertua beliau melihat kasur dari kudus tadi dan memahami bahwa beliau itu menasehati dengan halus tentang tidur Rosululloh tanpa permadani sekalipun waktu sudah banyak alas indah dari Iraq dan Mesir..

Dengan nada rendah sang menantu menjawab: Injih Abah, mohon maaf Rosululloh tidur beralas kayu pelepah kurma samapi terlihat bekas kayu nampak di punggung beliau, dan sayapun beralas kayu ikut Raosululloh, kasur itu pemberian dari orang kaya dari Kudus dan nanti akan saya kembalikan kepada pemiliknya lagi.

Wallahu A'lam Bishowaf

Dasi Dagelan Santri Indonesia


Sejarah Singkat KH. Abdul Karim -Lirboyo

December 14, 2017

Sejarah Singkat KH. Abdul Karim -Lirboyo
Sejarah Singkat KH. Abdul Karim -Lirboyo Kediri

Benangmerahdasi -Sejarah singkat Mbah Abdul Karim

KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di Desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa   Tengah, dari pasangan kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putr ketiga dari empat bersaudara Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melanglang buana dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai Aliman).

Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cempoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih 6 tahun, Setelah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Qur'an,

Kemudian beliau melanjutkan pengembaraan ke pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di pesantren ini.

Selanjutnya beliau nyantri di Pondok Pesantren Kadungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salat satu pesantren besar di Pulau Madura, asuhan Ulama' Kharismatik, Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, Sekitar 23 tahun.
Baca juga: Kisah menakjubkan saat H. Syu'aib Blengok Gandusari Trenggalek menunaikan ibadah haji
Pada usia 40 tahun, KH. Karim meneruskan pencarian ilmu di pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH, Hasyim Asy'ari. Hingga pada akhirnya KH. Hasyim Asy'ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmelati Kediri, pada tahun 1328 H/1908 M.

KH. Abdul Karim meningkah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul Karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.

Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul Karim medirikan sebuah masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta'lim wa taalum bagi santri.

Wallahu A'lam Bishowaf

DASI Dagelan Santri Indonesia


Kisah Menakjubkan Saat H Syu'aib Blengok Gandusari Trenggalek Menunaikan Ibadah Haji

December 13, 2017

Kisah Menakjubkan Saat H Syu'aib Blengok Gandusari Trenggalek Menunaikan Ibadah Haji
Kisah Menakjubkan Saat H Syu'aib Blengok Gandusari Trenggalek Menunaikan Ibadah Haji

Benangmerahdasi -Mbah H. Syungeb (Syu'aib) Blengok Gandusari Trenggalek, bercerita saat takziyah atas meninggalnya adik iparnya, bahwa pada tahun 1974 beliau menunaikan ibadah haji yang kebetulan satu pesawat dengan KH. Mahrus Ali, Nyai. Zainab (istri beliau) dan Gus Imam (KH. Imam Yahya Mahrus). Dan, pada musim haji tahun 1974 itulah terjadi musibah jatuhnya pesawat yang membawa jama'ah haji asal kabupaten Blitar di Colombo yang kemudian semua korbannya di makamkan di komplek makam Sunan Ampel, tepatnya di samping makam Mabah Bolong.

Sebenarnya, Mbah yai Mahrus beserta keluarga dijadwalkan naik pesawat tersebut dan beliau saat itu sudah berada di atas pesawat. Ketika baru saja duduk di kursi pesawat, tiba-tiba beliau berdiri dan dawuh kepada Bu Nyai dan Gus Imam, ''Ayo mudun, melu penerbangan dak mburine iki, pesawat iki mambu gondho mayit''.

Kemudian, beliau bertiga akhirnya ganti pesawat, sehingga menjadi satu kloter dengan Mbah Syungeb. Dan setelah itu, terjadilah musibah jatuhnya pesawat yang kemudian di monumenkan dengan pembangunan Rumah Sakit Syuhada Haji di Blitar.

Kemudian, sesampainya di tanah suci dan rangkaian ibadah haji dimulai, di salah satu hari, Mbah Yai Mahrus, Bu Nyai dan Gus Imam naik bis dari kos tempat menginap milik Syekh Sirojuddin menuju Masjidil Haram. Perlu diketahui, bahwa Syekh Sirojuddin adalah alumni Lirboyo era Mbah Faqih Sumbersari Pare Kediri, Putra dai KH. Abdulloh Umar, Pendiri Pondok Pesantren AT - TAQWA Kedunglurah Trenggalek.
Baca Juga: Mengengal lebih dekat KH Bisri Syansuri faqih yang tegas dan santun
Saat itu, mungkin karena ingin menikmati suasana lain, Gus Imam naik di atas kap bis bersama beberapa jama'ah haji lainnya, sedangkan Mbah Yai Mahrus beserta Bu Nyai duduk di kursi dalam bis.

Ketika di tengah perjalanan, tiba-tiba sopir mendadak mengerem bis untuk menghindari tabrakan, dan penumpang yang berada di atas kap berjatuhan, termasuk Gus Imam. Pada saat jatuh itulah kejadian luar biasa yang dialami Gus Imam. Sebagaimana yang diceritakan sendiri pada Mbah Syungeb, bahwa ketika jatuh dari kap bis, Gus Imam tidak merasakan kesakitan atau bahkan terluka, karena pada saat itu ternyata beliau tiba-tiba di tangkap oleh KH. Marzuqi Dahlan dan diselamatkan dalam pangkuannya, padahal saat musim haji tahun itu Mbah Yai Marzuqi tidak ikut melaksanakan ibadah haji dan hanya berada di Lirboyo.

Gus Imam berkata pada Mbah Syungeb, ''Anu ngeb pas ceblok songko nduwur bis, aku di tampani karo Pak Dhe, padahal Pak Dhe ndek Lirboyo lho. ora melu haji. Bar ngunu, aku noleh Pak Dhe wis ora enek.''

Yang dimaksud dengan pak Dhe oleh KH. Imam Yahya Mahrus adalah Al- Maghfurlah KH. Marzuqi Dahlan, Ayahanda KH.A.Idris Marzuqi.

Wallahu A'lam Bishowaf

DASI Dagelan Santri Indonesia

Kisah Sakral Terciptanya Lambang NU

September 13, 2017

Benangmerahdasi.com -Kisah Sakral terciptanya Lambang Jam'iyyah Nahdhotul Ulama.

Dibalik citra dan kewibawaan lambang NU karya KH Ridlwan Abdullah (1884-1962) yang dapat kita lihat sekarang, ternyata sejarah pembuatannya menyimpan pula kisah dan makna yang sangat dalam dan menarik untuk kita ketahui. Tidak seperti proses kereatif lahirnya karya seni pada umumnya yang kebanyakan sekedar mengandalkan daya imajinasi dan kecerdasan kognitif belaka, namun tidak hanya atas dasar dua daya itu lambang NU berhasil diciptakan. Di samping menggerakkan daya imajinasinya, KH Ridlwan Abdullah juga menggerakkan kekuatan spiritualnya. Bahkan aspek yang terakhir ini memegang peranan terpenting di balik terciptanya lambang NU.

Baca juga: Sejarah perjuangan NU dari masa ke masa untuk NKRI
Bermula dari persiapan penyelenggaraan Muktamar ke-2 NU di Surabaya, Kiai Ridlwan Abdullah ditugasi oleh KH Wahab Chasbullah selaku ketua panitia waktu itu untuk membuat lambang NU. Penunjukan Kiai Ridlwan dalam pembuatan lambang NU ini mengingat Kiai Ridlwan memang sudah di kenal pandai menggambar dan melukis. Namun terhitung sejak penugasan itu hingga satu setengah bulan Kiai Ridlwan mencoba membuat seketsa lambang NU bahkan sampai berkali-kali belum berhasil juga, padahal Muktamar sudah diambang pintu sehingga sampai sempat mendapat "teguran" KH Wahab Chasbullah. Akhirnya, pada suatu malam dengan harapan muncul inspirasi atau Ilham pada saat-saat orang lelap tidur, Kiai Ridlwan mengambil air Wudlu kemudian melaksanakan shalat Istikharah. Setelah itu beliau tidur sejenak. Dalam nyenyaknya tidur Kiai Ridlwan Abdullah bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Nampak seperti bola dunia dikelilingi bintang dan tali penyambung dan pengait.

Atas mimpinya itu, KH Ridlwan Abdullah tersentak bangun dari tidurnya dan sepontan langsung mengambil kertas dan pena untuk membuat seketsa gambar sesuai dengan apa yang tertayang dalam mimpinya tersebut. Saat itu jam dindingnya menujukan pukul 02.00 dini hari. Karena kecakapannya dalam melukis, pada keesokan harinya gambar tersebut bisa di selesaikan lengkap dengan tulisan NU memakai huruf arab dan tahunnya.

Adapun secara singkat deskriptif makna dari gambar atau lambang NU dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Tambang melambangkan agama (Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan bercerai berai).

2. Posisi tambang melingkari bumi melambangkan persaudaraan kaum muslimin seluruh dunia.

3. Untaian tambang berjumlah 99 buah melambangkan Asma'ul husna.

4. Bintang sembilan melambangkan jumlah wali songo.

5. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW

6. Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan khulafaur rasyidin dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzhab empat.

Setelah hasil lambang tersebut dihadapkan kepada KH Hasyim Asy'ari, beliau merasa puas dengan gambar, makna dan riwayat terciptanya lambang NU karyanya  Kiai Ridlwan itu. Beliau kemudian mengangkat kedua  tangannya berdo'a cukup panjang. Kemudian beliau berbicara penuh harap: "Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang di maksud di dalam simbol Nahdlatul Ulama".

Semoga bermanfaat.

Mengenal Lebih Dekat KH Bisri Syansuri Faqih yang Tegas dan Santun

September 01, 2017

Benangmerah dasi.com -Mengenal Lebih Dekat KH.Bisri Syansuri Faqih yang tegas nan santun.

Pertengahan juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesantren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan besama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicaraan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai "Pecinta fiqih sepanjang hayat'' yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalal buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di bibis, kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.

Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan di sanalah di bertemu dengan kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyakut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaiatn dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.

Perbedaanya terletak pada bagian ilmu agama yang mereka senangi, Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu pada ayat-ayar Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gud Dur, ''Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung ?'' Gus Dur menjawab, ''Memang benar demikian." Kiai Wahab kembali bertanya, ''Mengapa ?'' Gus Dur menjawab, ''Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW  pernah makan di warung.'' Kiai Abdul Wahab mengata-kan, ''Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung".
Tetapi pergaulan mereka,, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang mengunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur penah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu kiai Bisri. Ternyata, keduanya  berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat  duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pendirian masing-masing. Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, ''Kitab yang sampena gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab yang saya gunakan adalah cetakan Kairo,''Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumetasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walaupun pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruangan pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggir sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainya terdapat di buku " Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU''. Dalam resepsi penutupan kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, ''Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,''ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik persiden Soeharto.

Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya menemui undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Besarung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopyah haji. Kiai Bisri mempersilahkan tamu dari Jakarta itu memasuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang di ucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Persiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran ke luar negeri.

Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku ''Antologi NU, Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah''  jilid 1. Saat berlangsung sidang umum MPR tahun 1978 ada peristiwa liar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah menggariskan untuk memegang teguh amanat itu, mereka pun keluat sidang. Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, Kiai yang menciptakan lambang Ka'bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara keseluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langakah pertama yang Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi. Setelah itu amandeman RUU itu di ajukan ke Majelis Syuro PPP dan di terima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah  melalui proses yang panjang dan melelahkan serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.
Baca juga: Biografi Tuan Guru Ziani Abah Guru Sekumpul
Pecinta Ilmu Sejati.

Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, Tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan Ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang. Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuak antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri meningkahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri meningkah dengan putra KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gusdur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulang dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri kemudian mendirikan ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada tahun 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah Kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.

Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para Kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (Konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi kepala staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi Ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau bertepatan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut di lupakan. Kiai Bisri turut terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada priode pertama, Kiai Bisri menjadi A'wan Syuriyah PBNU dan kemudian pada priode-priode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriyah, wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mempertahankan prinsip, kesantunan kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat Berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukan sikap tawadlu' yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan "rivalitas" antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriyah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan besar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.

Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan  juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedia menduduki jabatan itu. "Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.''

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimipin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai wakil Rasi Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am Hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni  2010)


Sang Pemabuk dan Pezina itu Ternyata Wali Allah

August 08, 2017

Benangmerahdasi.com
-
Sang pemabuk dan pezina itu ternyata wali Allah...

Di dalam buku hariannya Sultan Turki Murad lV mengisahkan, bahwa suatu malam dia merasakan ketakutan yang sangat, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya. Sultan berkata kepada pengawal: ''Mari kita keluar sejenak".

Di antara kebiasaan sang Sultan adalah melakukan blusukan di malam hari dengan cara menyamar.
Mereka pun pergi, hingga tibalah mereka di sebuah lorong sempit.

Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Sang Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu, ternyata ia telah meninggal. Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tak sedikitpun memperdulikannya. Sultan pun memanggil mereka, mereka tak menyadari kalau orang tersebut adalah Sultan. Mereka bertanya:''Apa yang kau inginkan?..

Sultan menjawab:''Mengapa orang ini meninggal tapi tidak ada satupun diantara kalian yang mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Dimana keluarganya?''
Mereka berkata:''Orang ini Zindiq, suka menenggak minuman keras dan berzinah''

Sultan menimpali: ''Tapi...bukankankah ia termasuk umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam? Ayo angkat jenazahnya, kita bawa ke rumahnya''.
Mereka pun membawa jenazah laki-laki itu kerumahnya. Melihat suaminya meninggal, sang istri pun menangis. Orang-orang yang membawa jenazah langsung pergi, tinggallah sang Sultan dan kepala pengawalnya.
Baca juga: kisah sedih di hari raya Umar bin Abdul Aziz
Dalam tangisannya sang istri berucap kepada jenazah suaminya: ''Sungguh Allah merahmatimu wahai wali Allah...Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang sholeh''.

Mendengat ucapan itu Sultan Murad kaget...Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah sementara orang-orang membicarakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya''.  Sang istri menjawab: ''Sudah kuduga pasti akan begini...''
''Setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke toko-toko minuman keras, dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu di bawa kerumah lalu ditumpahkannya ke dalam toilet, sambil berkata: ''Aku telah meringankan dosa kaum muslimin''.

''Dan juga selalu pergi menemuai para pelacur, memberi mereka uang dan berkata: ''Malam ini kalian sudah dalam bayaranku, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi''.
''Kemudian ia pulang kerumah, dan berkata kepadaku: ''Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pemuda-pemuda Islam''.

''Orang-orangpun hanya menyaksikan bahwa ia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya dengan berbagai tuduhan dan menjadikannya buah bibir''.

Suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku: ''Kalau kamu mati nanti, tidak akan ada kaum muslimin yang mau memandikan jenazahmu, mensholatimu dan menguburkan jenazahmu''.

Ia hanya tertawa, dan berkata: ''Jaangan takut, bila aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin para Ulama' dan para Auliya''.

Maka Sultan Murad pun menangis, dan berkata: ''Benar! Demi Allah, Akulah Sultan Murad, dan besok pagi kita akan memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya''.

(Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhory dari Mudzakkiraat Sultan Murad lV)

Biografi Tuan Guru Zaini Abah Guru Sekumpul

August 07, 2017

Benangmerahdasi.com
-
Biografi Tuan Guru Zaini Abah Guru Sekumpul.

Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad bin Abdullah bin al- Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al -Allamah al-Khalifah Hasanudin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf dengan Hj Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama sedangkan adiknya bernama H Rahmah.

Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 M.

Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat itu adalah tokoh-tokoh besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. Walaupun saya tidak begitu mengenal secara mendalam tetapi kita mengenal Ulama yang tawadhu KH. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti Senjata Mukmim yang banyak di cetak di Kalsel. Sedangkan al-alim al- Allamah Seman Mulya, dan al-Alim Syaikh Salman Jalil, ingin rasanya beguru dan bertemu muka ketika masih hidup. Syaikh Seman Mulya adalah paman beliau yang secara intensif mendidik beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisnya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan) maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, guru Seman mengajak (menghantarkan) beliau kepada al-Alim al Allamah Syaikh Anang Sya'rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Baca juga: Kisah titip salamnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada kiai Khozin Buduran Sidoarjo
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan al-marhum KH. Hanafiah Gobet). Selain itu . Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan kepada kami agar jangan sombong dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang sekarang sedang menyampaikan adalah muridnya sendiri.

Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syaikh Syarwani Abdan (Bangil) dan al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi. Kedua tokoh ini bisa disebut guru khusus beliau, atau meminjam perkataan beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al- Shufiyah). Dari beberapa guru beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah), Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail al- Yamani, dan Syaikh Abdul Kadir al -Bar. Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah al- Alim al-Allamah Ali Junaidi (Berau) bin al- Alaim  al-Fadhil Qadhi Muhammad Amiin bin al-Alim al-Allamah Mufti Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan al-Alim al-Allamah Muhammad Syarwani Abdan Bangil. (Selain ini, masih banyak tokoh lagi di mana sebagiannya sempat saya catat dan sebagian lagi tidak sempat karena waktu itu beliau menyebutkannya dengan sangat cepat. Sempat saya hitung dalam jumlah kira-kira, guru beliau ada sekitar 179 orang sepesialis bidang keilmuan Islam terdiri dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Makkah).

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syaikh Muhammad Ghani juga adalah seorang pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memennej usaha dagang beliau sampaikan kepada kami lewat cerita-cerita itu.

Tuan Guru H.M. Zaini Abdul Ghani telah menulis beberapa buah kitab, antara lain:

- Risalah Mubaraqah.
- Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al    Madani
- Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
- Nubdzatun di Manaqibi Imamil Mashur bil Ustadzil a'azham Muhammad bin Ali Ba'alawy.

Sebelum beliay wafat, beliau memberikan wasiat kepada seluruh kerabat, para murid dan kaum muslimin. yang di buat pada hari Ahad Tanggal 11 Jumadil Akhir 1413 H, yang isi wasiatnya berbunyi:

1. Menghormati Ulama
2. Mudah diri, Murah hati, Murah muka
3. Memaafkan segala kesalahan orang lain.
4. Jangan bersifat tamak dan memakan harta riba.
5. Janagn menyakiti orang lain.
6. Jangan merasa baik dari orang lain
7. Berpegang kepada Allah segala hajat yang dikehendaki.
8. Baik sangka terhadap muslim
9. Banyak-banyak sabar apabila mendapat musibah, banyak-banyak syukur atas nikmat
10. Tiap-tiap orang yang iri dengki atau adu asah jangan dilayani, serahkan segala sesuatu kepada Allah (Tawakal)

Kisah Titip Salamnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW Kepada Kiai Khozin Buduran- Sidoarjo

August 06, 2017

Benangmerahdasi.com
-
Kisah titip salamnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada kiai Khozin Buduran- Sidoarjo.

Salah seorang Waliyullah yang terkenal keramat, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan-Madura, suatu kali menunaikan ibadah haji, beberapa saat ketika beliau singgah di Madinah hendak berziarah ke makam Rasulullah di Raudhah, beliau berjumpa dengan Baginda Nabi SAW. Ketika itu beliau terlihat mesra sekali bercengrama dengan Baginda Nabi SAW. Sebelum berpisah, baginda Nabi SAW mengatakan kepada Syaikhona Kholil Bangkalan bahwasanya kalau Syaikhona kembali ke tanah air supaya menyampaiakn salam beliau SAW kepada kiai Khozin Buduran, Sidoarjo.

Begitulah, beliau kembali pulang ke Tanah Air. Selepas kapal yang ditumpanginya bersandar di pelabuhan kota Surabaya (sekarang Tanjung Perak), Syaikhona Kholil tidak langsung menuju ke rumahnya di Bangkalan, Madura, tetapi langsung menuju Buduran, Sidoarjo mencari orang yang bernama Khozin sebagaimana yang dipesankan Baginda Nabi SAW kepadanya. Begitu sampai di Buduran, beliau menanyai beberapa orang yang di jumpainya, menanyakan ruhan Khozin. Jawaban yang beliau peroleh menunjuk pada sosok-sosok yang bervariasi, mulai dari Khozin tukang cukur rambut, Khozin tukang sepatu sampai Khozin-Khozin lain dengan beragam profesi yang disebutkan, dan semua tidak cocok dengan yang beliau bayangkan. Hingga akhirnya suatu saat kemudian di pagi hari beliau bertemu dengan bapak tua, mengenakan kaos oblong dan bersarung setengah dicincing ke atas, sedang menyapu halaman sebuah rumah yang mirip sebuah pesantren dengan beberapa gothaan (bilik-bilik bambu untuk kamar para santri). Syaikhona Kholil lalu menghampiri bapak yang tengah sibuk dengan aktifitas paginya tersebut.

Setelah memberikan ucapan salam dan dijawab oleh bapak tersebut, beliau bertanya, ''Pak, dimanakah rumah Khozin?''.

''Nama Khozin disini banyak,'' Jawab orang tersebut.

''Tetapi kalau kiai hendak mencari Khozin yang dimaksud Rasulullah sewaktu sampean di Madinah, ya saya ini Khazin yang beliau maksud.''lanjut bapak tersebut.

Syaikhona Kholil tesentak kaget setelah mendengar jawaban spontan tersebut. Dengan serta -merta beliau menjatuhkan koper perbekalan bawaannya dan langsung mencium tangan bapak tersebut berulang kali.

Ya, itulah Kiai Khozin Khoiruddin, pengasuh pondok pesantren Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo sekaligus perintis tradisi khataman tafsir Jalalain, yang pada era Kiai Ya'kub Hamdani terkenal sebagai pondoknya para wali.

Hadaratus Syekh Kiai Hasyim Asy'ari adalah alumni ponpes ini. Beliau sempat diambil menantu oleh Kiai Ya'kub, dipersuntingkan dengan putrinya yang bernama Khadijah. Dari perkawinannya dengan Khadijah ini beliau dianugerahi seorang anak bernaman Abdullah. Akan tetapi, sayang keduanya (Nyai Khadijah dan Abdullah putranya) wafat di Makah pada tahun 1930. Di pondok ini gothaan (kamar) Hadaratus Syekh Hasyim Asy'ari sewaktu masih nyantri sampai sekarang diabadikan keberadaanya sebagai bentuk penghormatan kepada Hadaratus Syekh. Diantara alumni ponpes yang lain adalah Mbah Hamid Abdullah Pasuruan, Kiai As'ad Syamsul Arifin Situbondo, Mbah Ud Pagerwojo, Mbah Jaelani Tulangan.

Ada beberapa kisah menarik terkait santri-santri pondok Siwalan Panji. Salah satunya ialah sebagaimana  penuturan cucu Mbah Jaelani kepada saya, pada suatu musim kemarau waktu itu banyak para petani yang kehausan karena sumur-sumur di sawah maupun rumah-rumah penduduk kering kerontang. Ditengah kondisi banyak orang kehausan itu tiba-tiba mereka melihat Mbah Jaelani seperti terbang melayang-layang di udara sambil membawa timba-timba berisi air beserta pikulnya.

Ada juga kisah wali Kendil (kaka beradik yang meninggal ketika masih menjadi santri). Sang adik ahli mutholaah (mendaras) kitab-kitab, sedang sang kaka ahli riyadhoh/tirakat (mengambil jalan hidup penuh keprihatinan). Pada suatu hari sang kaka ingin mendidik adiknya agar bisa belaku tenggang rasa. Dimarahilah adiknya yang tengah menanak nasi di dapur dengan alasan tidak menghormati kakaknya yang sedang berpuasa. Ditendangnya kendil (bejana yang terbuat dari tanah) yang digunakan untuk menanak nasi itu hingga pecah berantakan. Melihat itu adik diam sambil mengabil sepihan-serpihan kendil yang pecah berantakan itu. Di tempelkannya lagi potongan serpihan itu dengan ludahnya hingga kembali utuh seperti sedia kala. Kono hingga ketika keduanya meninggal, Makam adiknya tidak mau berjejer berdampingan dengan kakanya setiap hari makam adiknya bergeser maju bahkan konon sampai menembus pagar batas makam, dan pada akhirnya oleh kiai Ya'kub santrinya itu di peringatkan agar cukup sampai di situ saja (maksudnya makam jangan bergeser lagi). Hingga sekarang makam keduanya yang awalnya berjejer sudah tidak lagi seperti kali pertama dimakamkan, makam adiknya lebih maju kedepan melewati batas nisan kakanya.

Kiai Kholil Bangkalan sendiri akhirnya nyantri (berguru) kepada kiai Khozin, sehingga termasuk alumni Pondok Siwalan Panji.

Pondok Siwalan Panji ini berdiri sekitar tahun 1787 oleh kiai Hamdani. Menurut Gus Rokhim (alm) Pemangku pondok Khamdaniyyah yang juga generasi ke tujuh dari Mbah Kahmdani, ketika tanah Siwalan Panji masih berupa rawa tanah rawa, Mbah Hamdani meminta kepada Allah agar tanah rawa ini di angkat ke permukaan untuk dijadikan sebagai kawasan syiar Islam waktu itu.

''Ketika itu Mbah Hamdani meminta pertolongan kepada Allah, tidak berselang lama, tanah yang sebelumnya rawa, tiba-tiba terangkat dan menjadi dataran,'' cerita Gus Rokhim. Tidak hanya itu, pada awal-awal pengerjaan pondok, kayu bangunan pondok yang didatangkan dari Cepu melalui jalur laut tiba-tiba pecah dan terserak dan berpencar. Namun, karena pertolongan Allah, kayu-kayu yang semula berpencar ini, bergerak sendiri melalui sungai menuju ke arah sungai di seberang kawasan pondok.

''Ada satu kayu yang tersangkut dikawasan Kediri, dan sekarang di sebut menjadi kayu Cagak Panji,'' cerita Gus Rokhim.

Dijuluki pondoknya para wali karena setiap tahun alumni yang keluar beberapa di antaranya mereka sudah mempunyai karomah-karomah luar biasa ketika masih menjadi santri.

Kono dari beberapa riwayat yang saya kumpulkan. di pondok Panji atau Siwalan Panji inilah kitab Tafsir Jalalain pertama kalinya di baca secara klasikal pada tahun 1789 M. Sistem pendidikan ala madrasah diniyah juga sudah ada pada waktu itu, hanya saja formatnya tidak seperti sekarang yang tersusun sistematis dan terencana.

Pembeaharuan sistem pendidikan pondok pesantren secara klasikan dengan kurikulum yang sistematik diinisiasi oleh Gus Wahid (K.H.Abdul Wahid Hasyim), pahlawan pergerakan nasional, ayah Gus Dur, pada akhir 1930-an.

Semenjak itu Syaikhona Kholil selalu mewanti-wanti agar santri beliau yang boyong (pulang ke kampung halaman) agar tabarrukan dulu di pondok Panji yang diasuh  kiai Khozin ketika itu, sebagai bentuk ketakdziman Syaikhona Kholil kepada Kiai Khozin. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa sampai sekarang pondok Panji, terutama Pondok Al-Khozini, banyak dipenuhi santri dari Madura, sebagai bentuk ketakdziman mereka pada dawuh Syaikhona Kholil Bangkalan.

Wallahu a'lamu bis showab
 
Copyright © benangmerahdasi.com. Designed by OddThemes & VineThemes