KAJIAN KITAB

AZWAJA

ASBABUN NUZUL

Latest Updates

Showing posts with label THAHARAH. Show all posts
Showing posts with label THAHARAH. Show all posts

Fiqih bab Thoharoh (Tentang Membaca Al Qur'an bagi Orang yang Tidak Memiliki Wudhu)

April 07, 2018


Santridasi menjawab  -Fiqih bab  thoharoh (Tentang membaca Al Qur'an bagi orang yang tidak punya wudhu)

Fiqih bab Thoharoh (Tentang Membaca Al Qur'an bagi Orang yang Tidak Memiliki Wudhu)
Fiqih bab Thoharoh (Tentang Membaca Al Qur'an bagi Orang yang Tidak Memiliki Wudhu)

Benangmerahdasi  -Fiqih bab thoharoh (Tentang membaca Al Qur'an bagi orang yang tidak punya wudhu). Pertanyaan dari saudara Budhi, beliau menanyakan bagaimana hukumnya  membaca Al Qur'an ketika kita tidak memiliki wudhu. di bab ini akan kita bahas hal tersebut dari lintas madzab serta pandangannya..

BENANG MERAH
Santri DASI
NO : 00376
FIQIH BAB THOHAROH
[ Tentang Membaca Al Qur'an bagi Orang yang Tidak Memiliki Wudhu ]

🔰Hallo Benang merah 
WA : 0813 8445 1265
WA : 0899 8605 999
www.benangmerahdasi.com
__________________

Sail : Budhi Prn

Pertanyaan : 
Bagaimana hukumnya membaca Al Qur'an ketika kita tidak memiliki wudhu?

_______________

Mujawib : Muhammad El Kaff

Jawaban :

Membaca Al Qur'an bagi orang yang tidak memiliki wudhu hukumnya boleh asalkan tidak memegang mushaf Al Qur'an. Jika ingin memegang mushaf Al Qur'an, maka harus berwudhu terlebih dahulu.
Baca Juga: Hukum air yang terkontaminasi limbah pabrik
___________________
Referensi :

Fiqih al Islami juz 1 halaman 395

واتفق الفقهاء على ان غير المتوضئ يجوز له تلاوة القران للتعلم، لانه غير مكلف. والافضل التوضؤ.

وقد حرم المالكية والشافعية مس القران بالحدث الاصغر ولو بحائل او عود طاهرين.

واجاز الحنفية والحنابلة مسه بحائل او عود طاهرين

Artinya :
Para fuqoha' telah sepakat bahwa orang yang tidak memiliki wudhu itu boleh membaca Al Qur'an atau sekedar melihat Al Qur'an dan tidak menyentuhnya. Seperti halnya diperbolehkannya anak-anak kecil menyentuh Al Qur'an dalam rangka untuk belajar. Karena mereka belum mukalaf, namun yang utama tetaplah berwudhu terlebih dahulu.

Madzhab Malikiyah dan Syafi'iyah mengharamkan menyentuh Al Qur'an dalam keadaan berhadats kecil meskipun menggunakan perantara.

Sementara madzhab Hanafiyah dan Hanabilah memperbolehkan menyentuh Al Qur'an menggunakan perantara

DASI Dagelan Santri Indonesia

Hukum Air yang Terkontaminasi Limbah Pabrik

March 01, 2018

DASI Dagelan Santri Indonesia -Hukum Air yang Terkontaminasi Limbah Pabrik

Hukum Air yang Terkontaminasi Limbah Pabrik
Hukum Air yang Terkontaminasi Limbah Pabrik

Benangmerahdasi 
-Hukum Air yang terkontaminsai limbah pabrik

Nomer:00355
[Air yang terkontaminasi limbah pabrik]
Hallo Benang merah
WA : 081384451265
WA : 08998605999

Deskripsi Masalah

Semakin banyaknya penduduk di kota-kota besar dan juga maraknya pabrik mengakibatkan sungai-sungai di kota-kota besar banyak yang terkontaminasi limbah pabrik dan limbah rumah tangga di sekitar sungai hingga mengakibatkan warna, rasa, dan bau air sungai tidak seperti dulu lagi, dan tidak seperti kebanyakan sungai d desa-desa. Namun dengan berkembangnya tekhnologi, air sungai yang sudah berubah tersebut dapat dijernihkan kembali dan tidak berbau (menggunakan peralatan canggih atau dengan bahan kimia tertentu)

Pertanyaan:

1. Bagaimana setatus air sebelum diproses?

2. Bagaimana setatus air setelah diproses?

Jawaban:

1. Diperinci;

Apabila diketahui dengan pasti bahwa perubahan air tersebut disebabkan limbah benda najis seperti darah, kotoran dls. Maka hukum air tersebut adalah najis.

Apabila diketahui dengan pasti bahwa perubahan air tersebut disebabkan limbah yang suci, cair dan bisa menyatu dengan air, maka airnya dihukumi suci namun tidak bisa mensucikan (tidak sah dipakai wudlu', mandi besar, dan menghilangkan najis). Beda halnya jika perubahan tersebut disebabkan limbah padat, atau cair namun tidak menyatu dengan air. Maka air tersebut tetap dihukumi suci dan mensucikan.

Apabila limbah yang menyebabkan air tidak bisa dipastikan najis dan sucinya, padat dan cairnya, menyatu dan tidaknya, atau bercampur najis dan suci, namun masih diragukan apakah perubahannya disebabkan limbah yang suci atau yang najis. Maka hukum airnya tetap suci dan mensucikan.
Baca Juga: Penjelasan tentang perlu tidaknya baju baru di cuci (kehawatiran najis)
2. Hukum air yang sudah dipastikan najis, atau tidak bisa mensucikan, bila sudah diproses hingga menjadi jernih kembali maka dihukumi suci dan mensucikan, selama bahan kimia yang digunakan tidak terasa, baik warna, rasa dan baunya. Dan rasa, warna atau bau dari zat kimia tersebut masih terasa seperti bau kaporit misalnya, maka meski sudah jernih tetap dihukumi najis.

Catatan:

Untuk daerah perkotaan yang sulit menemukan air selain air hasil penyulingan, bisa mengikuti madzhab hambali yang menghukumi suci secara mutlak air najis yang perubahannya sudah hilang. Atau mengikuti madzhab hanafi yang memberlakukan ihalah dalam semua bentuk perubahan benda najis ke benda suci.

Referensi:
الترمسى الجزء الاول صحيفة 121

قاَلَ اْلعَلاَّمَةُ اْلكُرْدِىُّ وَحَاصِلُ مَسْئَلَةِ زَوَالِ تَغَيُّرِ اْلماَءِ اْلكَثِيْرِ بِالنَّجِسِ أَنْ تَقُوْلَ لاَ يَخْلُوْ اِماَّ اَنْ يَكُوْنَ زَوَالُ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ اَوْلاَ فَاِنْ كَانَ بِنَفْسِهِ طَهُرَ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ بِنَفْسِهِ فَلاَ يَخْلُوْ. اِماَّ اَنْ يَكُوْنَ بِنَقْصٍ مِنْهُ اَوْ بِشَئْ ٍحَلَّ فِيْهِ فَاِنْ كَانَ بِالنَّقْصِ وَاْلبَاقِىْ قُلَّتَانِ طَهُرَ. وَاِنْ كاَنَ عَيْناً فَلاَ يَخْلُوْ اِمَّا اَنْ يَظْهَرَ وَصْفُهَا فِى اْلماَءِ اَوْ لاَ، فَانْ لَمْ يَظْهَرْ وَصْفُهاَ فِيْهِ بِاَنْ صَفاَ اْلماَءُ طَهُرَ، وَاِنْ ظَهَرَ وَصْفُهاَ فِى اْلماَءِ فَلاَ يَخْلُوْ اِمَّا اَنْ يُوَاِفقَ ذَلِكَ اْلوَصْفُ وَصْفَ تَغَيُّرِ اْلماَءِ اَوْ لاَ، فَاِنْ لَمْ يَكُنْ مُوَاِفقًا لِذَلِكَ طَهُرَ وَاِلاَّ فَلاَ،

مغني المحتاج، ج ١، ص ٢٢

(أو) زال تغيره ظاهرا كأن زال ريحه (بمسك و) لونه بنحو (زعفران) وطعمه بنحو خل (فلا) يطهر، لانا لا ندري أن أوصاف النجاسة زالت أو غلب عليها المطروح فسترها، وإذا كان كذلك فالاصل بقاؤها. فإن قيل: العلة في عدم عود الطهورية احتمال أن التغير استتر ولم يزل، فكيف يعطفه المصنف على ما جزم فيه بزوال التغير ؟ وذلك تهافت. أجيب بأن المراد زواله طاهرا كما قدرته وإن أمكن استتاره باطنا، فلو طرح مسك على متغير الطعم فزال تغيره طهر، إذ المسك ليس له طعم. وكذا يقال في الباقي.

نهاية المحتاج، ج ١، ص ٧٧

وحاصل ذلك أن شرط إناطة الحكم بالشك في زوال التغير أو استتاره حتى يحكم ببقاء النجاسة تغليبا لاحتمال الاستتار أنه لا بد من احتمال إحالة زوال التغير على الواقع في الماء من مخالط أو مجاور ، فحيث احتمال إحالته على استتاره بالواقع فالنجاسة باقية لكوننا لم نتحقق زوال التغير المقتضي [ ص: 78 ] للنجاسة بل يحتمل زواله واستتاره والأصل بقاؤها ، وحيث لم يحتمل ذلك فهي زائلة فيحكم بطهارته ، وعلم أن رائحة المسك لو ظهرت ثم زالت وزال التغير حكمنا بالطهارة ؛ لأنها لما زالت ولم يظهر التغير علمنا أنه زال

حاشية البجيرمي
فان صافا الماء و لا تغير به طهر (قوله فان صاف الماء) اي زال ريح المسك او لون التراب او طعم الخل، (وقوله طهر) اي حكمنا بطهريته لانتفاء علة التنجيس

قرة العين بفتاوى إسمعيل الزين صحـ : 47

فَالْجَوَابُ وَاللهُ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ أَنَّ تَغَيُّرَ اْلمَاءِ بِالْكَدُوْرَاتِ وَنَحْوِهَا مِنَ اْلأَشْيَاءِ الطََّاهِرَةِ لاَ يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ وَإِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ فَيَبْقَى طَاهِرًا مُطَهِّرًا عَلَى اْلأَصْلِ وَإِذَا عُوْلِجَ بِمَا ذُكِرَ فِي السُؤَالِ مِنَ اْلأَدْوِيَّةِ لِتَصْفِيَّتِهِ كَانَ ذَلِكَ نَوْعَ تَرَفُّهٍ ِلأجْلِ التَنْظِيْفِ لاَ ِلأَجْلِ التَّطْهِيْرِ بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَ تِلْكَ اْلأَدْوِيَةُ غَيْرَ نَجِسَةٍ وَحِيْنَئِذٍ فَيَصِحُّ الْوُضُوْءُ وَسَائِرُ أَنْوَاعِ الطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ الْمَذْكُوْرِ قَبْلَ الْمُعَالَجَةِ أَوْ بَعَدَهَا اهـ

الإجماع لابن المنذر
أن العلماء أجمعوا على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت للماء طعمًا أو لونًا أو ريحًا أنه نجس ما دام كذلك، وأن الماء الكثير إذا وقعت فيه نجاسة فلم تغير له لونًا ولا طعمًا ولا ريحًا أنه بحاله ويتطهر منه، فإذا نتج عن هذه التنقية والمعالجة الكيميائية لمياه الصرف الصحي انتفاء هذه الأوصاف وعدم بقاء أثرها في المياه بعد المعالجة، وهو الذي بان لي من العرض السابق كانت صالحة لرفع الحدث وجاز الوضوء بها

إرشاد أولى البصائر والألباب لنيل الفقة بايسر الطرق والاسباب لعلامة السعدي - (ج 1 / ص 5)

إِذَا كَانَ الماءُ نَجَسَا مَتَى يَطْهُرُ؟ الجواب : أما عَلَى القَولِ الصَّحيحِ : وَهُو رِوايَةٌ عَنْ أَحمدَ . فمتَى زَالَ تَغَيّرُ الماءِ عَلَى أيِّ وجه كَانَ ؛ بِنَزْحٍ ، أو إضافةِ مَاءٍ إِليه ، أو بزوالِ تغيّرِه بِنَفسِه ؛ أو بمعالجتِه : طَهُرَ بِذَلِكَ . وسواءَ كَانَ قليلاً أو كَثِيرًا ؛ لأن الحكمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِه وُجُودًا وَعَدَمًا.

DASI Dagelan Santri Indonesia

Tentang Jawaban Perlu tidaknya Baju Baru di Cuci (kitab I'anatutthalibin 1 hal 125)

February 25, 2018

DASI Dagelan Santri Indonesia- Tentang Setatus baju baru apakah suci atau tidak

Tentang Jawaban Perlu tidaknya Baju Baru di Cuci (kitab I'anatutthalibin 1 hal 125)
Tentang Jawaban Perlu tidaknya Baju Baru di Cuci (kitab I'anatutthalibin 1 hal 125)

Benangmerahdasi  -Tentang baju baru yang perlu di cuci atau tidak.

BENANG MERAH NO:00350
FIQIH BAB NAJIS
(perlu tidaknya baju baru di cuci)

Hallo Benang merah 
WA : 0813 8445 1265

WA : 0899 8605 999

Pertanyaanya perlu tidak baju baru dicuci ?
Sail: Muhibib Muhayan

Ketika membeli baju di pasar atau tempat lainnya setelah sampai di rumah terkadang kita  ragu untuk langsung memakainya, dan tibul fikiran apakah harus di cuci terlebih dahulu atau bisa langsung di pakai. berikut penjelasan dari sudut pandang fiqih yang di ambil dari kitab (I'anatutthalibin 1 hal 125)

Jawaban
tidak perlu karena sesuatu yang asalnya suci dan disangka dengan kuat (dzon) terkena najis tetap dihukumi suci.

Bahkan dihukumi bid'ah tercela mencucinya,
karena nabi sendiri ketika di aturi keju Syam yang katanya dalam pembuatan ada campuran babat babi, ternyata nabi langsung memakannya..
Itu yang kemudian menjadi rujukan qiyas.
Baca Juaga: Fiqih cara bersuci dari kotoran anjing

Adapun pendapat yang mengatakan sunah, itu di arahkan kasusnya jika sangat sangat mendekati kebenaran kenajisannya.

Referensi

(قوله: ذكره شيخنا في شرح المنهاج) أي ذكر معظم ما في هذه القاعدة ونص عبارته.
وخرج بالمتيقن نجاسته مظنونها منه، أي طين الشارع، ومن نحو ثياب خمار وقصاب وكافر متدين باستعمال النجاسة، وسائر ما تغلب النجاسة في نوعه فكله طاهر للأصل.
نعم، يندب غسل ما قرب احتمال نحاسته.
وقولهم: من البدع المذمومة غسل الثوب الجديد، محمول على غير ذلك.
اه.

(I'anatutthalibin 1 hal 125)

DASI Dagelan Santri Indonesia

Fiqih Bab Najis Tentang Cara Bersuci dari Kotoran Anjing

February 16, 2018
Fiqih Bab Najis Tentang Cara Bersuci dari Kotoran Anjing
Fiqih Bab Najis Tentang Cara Bersuci dari Kotoran Anjing
Benangmerahdasi  -Fiqih bab najis (Tentang cara bersuci dari kotoran anjing)

Fiqih bab najis
NO:00349
Hallo Benang merah
WA : 0813 8445 1265
WA : 0899 8605 999

Sail : Ma'ruf Marensta
Pertanyaan :
Bagaimana cara menyucikan kotoran anjing di baju ?

Jawaban :
Berawal dari hadis Nabi dalam Sohih Muslim :
إذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات رواه مسلم
Berangkat dari hadis ini :

1) Syafi'iyah menyatakan bahwa kotoran anjing adalah najis mugholadoh yg harus di basuh tujuh kali dan salah satunya di campur dengan debu.
Referensi :
الخامس ولوغ الكلب يغسل سبعا احداهن بالتراب وعرقه
وسائر اجزائه كاللعاب

2) Sedangkan Malikiyah berpendapat keharusan mencuci tujuh kali itu hanya pada kasus jilatan anjing ke tempat yang ada airnya saja.
Dan mencampur debu bagi Malikiyah tidak wajib.
Baca Juga: Penjelasan fiqih tentang berwudhu tanpa mengenakan pakaian

3) Hanafiyah berpendapat najis anjing sama dengan najis lain dalam cara menyucikan nya.
Ini karena Malikiah dan Hanafiyah berpendapat anjing itu suci.
Referensi :

ALMAUSUU’AH ALfIQHIYYAH XIV/50 :

وَخَصَّ الْمَالِكِيَّةُ الْغَسْل سَبْعًا بِمَا إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ فَقَطْ ، وَلاَ يُشْتَرَطُ التَّتْرِيبُ عِنْدَهُمْ ، وَأَمَّا إِذَا أَدْخَل الْكَلْبُ رِجْلَهُ أَوْ لِسَانَهُ بِلاَ تَحْرِيكٍ فِي الإِْنَاءِ ، أَوْ كَانَ الإِْنَاءُ فَارِغًا وَلَعِقَهُ الْكَلْبُ فَلاَ يُسْتَحَبُّ غَسْلُهُ عِنْدَهُمْ ، وَالْحُكْمُ بِالْغَسْل سَبْعًا تَعَبُّدِيٌّ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَذَلِكَ لأَِنَّهُمْ يَقُولُونَ بِطَهَارَةِ الْكَلْبِ .
وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُتَنَجِّسَ بِرِيقِ الْكَلْبِ كَالْمُتَنَجِّسِ بِغَيْرِهِ مِنَ النَّجَاسَاتِ ؛ وَذَلِكَ لأَِنَّ الْكَلْبَ عِنْدَهُمْ لَيْسَ بِنَجَسِ الْعَيْنِ بَل نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ ، وَأَمَّا شَعْرُهُ فَطَاهِرٌ .

DASI Dagelan Santri Indonesia

Penjelasan Fiqih Tentang Berwudhu Tanpa Mengenakan Pakaian

November 21, 2017

Penjelasan Fiqih Tentang Berwudhu Tanpa Mengenakan Pakaia

Benangmerahdasi -Serba-serbi Mukena

Fiqih Bab Sholat
Hallo Benangmerah
WA: 081384451265

Pertanyaan
1. Bagaiamana hukumnya  seorang wanita yang mengerjakan sholat hanya memakai mukena yang bahannya tebal namun dia tidak memakai pakaian..? (kecuali mukena tebal)

2.  Bholehkah sepasang suami istri berwudhu bersamaan dalam satu kamar mandi dengan telanjang/ tanpa pakaian.?

Jawab

1. Shah. Karena salah satu syarat sahnya sholat adalah menutup aurat, Dalam masalah menutup tidak dikhususkan hanya dengan pakaian, tetapi menggunakan apa saja yang mampu berfungsi untuk menyembunyikan aurat asalkan suci dan mampu mencegah terlihatnya warna kulit (tidak transparan).

Dengan demikian jika hanya menggunakan mukena saja tanpa berpakaian didalamnya, dan mukena tersebut sudah mencakup persyaratan bahan penutup aurat maka shah sholatnya.

Referensi:

و الثالث ستر العورة بجرم طاهر يمنع رؤية لون البشرة بان لا يعرف بياضها من نحو سوادها في مجلس التخاطب لقادر عليه ولو باعارة او اجارة. وان صلى فى خلوة و لة فى ظلمة و الواجب سترها من اعلى وجوانب كاشفة السجا ٤٩

Syarat yang ke-3 adalah menutup aurat dengan barang yang suci yang mampu mencegah terlihatnya warna kulit hal ini berlaku bagi orang yang mampu menutupinya walau dengan jalan minjam atau menyewa.

Menutup aurat ini wajib dilakukan mestri dalam kesendirian dan keadaan yang gelap gulita sekalipun, Aurat yang wajib tertutup adalah dari arah atas dan samping.
Baca juga: Hukum fiqih tentang najisnya anjing dari lintas madzhab
2. Membuka Aurat saat wudhu di kamar mandi, menurut malikiyyah hukumnya Makruh bila tanpa ada yang melihat. Kalau ada yang melihat maka Haram.

وأما مكروهاته فالإكثار من صب الماء وكثرة الكلام في غير ذكر الله والزيادة على الثلاثة في المغسول وعلى واحدة في الممسوح على الراجح وإطالة الغرة ومسح الرقبة والمكان الغير الطاهر وكشف العورة والله أعلم

( قوله : على الراجح ) أي من القولين السابقين في قوله وهل تكره الرابعة أو تمنع خلاف ( قوله : وكشف العورة ) أي مع عدم من يطلع عليها ، وأما كشفها مع وجود من يطلع عليها غير الزوجة والأمة فهو حرام لا مكروه فقط .

Kemakruhan dalam wudhu (menurut madzhab maliki):

a. Memakai air berlebihan
b. Banyak berbicara selaian dzikir
c. Menambah lebih dari tiga kali dalam basuhan dan lebih sekali dalam mengusap menurut pendapat       yang kuat
d. Memanjangkan basuhan anggota wudhu.
e. Mengusap leher.
f. Berwudhu di tempat yang tidaka suci
g. Membuka aurat


Keterangan:
Jadi makruh berwudhu sambil "Membuka aurat" sepanjang tidak ada orang yang melihatnya, tapi bila ada  yang melihat aurat yang terbuka saat wudhu tersebut selain istri dan budak wanita hukumnya menjadi Haram ( Hasyiyah Addaasuuqi I / 104)

Dan menurut Syafi'iyah:

وَصَرَّحَ ابْنُ سُرَاقَةَ فِي أَدَبِ الشَّاهِدِ بِأَنَّهُ مُسْقِطٌ لِلشَّهَادَةِ غَيْرَ أَنَّهُ قَيَّدَ ذَلِكَ بِمَا إذَا كَشَفَهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا بُدَّ مِنْهُ ، وَفِي فَتَاوَى الشَّاشِيِّ كَشْفُ الْعَوْرَةِ فِي الْحَمَّامِ يَقْدَحُ فِي الْعَدَالَةِ .

وَقَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ : كَشْفُهَا بِحَضْرَةِ النَّاسِ يَقْدَحُ فِي الْعَدَالَةِ بِخِلَافِهِ فِي الْخَلْوَةِ .

لَكِنْ أَقَرَّ الشَّيْخَانِ فِي الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا صَاحِبَ الْعُدَّةِ عَلَى إطْلَاقِهِ أَنَّ كَشْفَهَا صَغِيرَةٌ ، وَيُوَافِقُهُ إفْتَاءُ الْحَنَّاطِيِّ بِأَنَّ مَنْ دَخَلَ الْحَمَّامَ بِغَيْرِ إزَارٍ يَصِيرُ فَاسِقًا إذَا تَعَوَّدَ ذَلِكَ انْتَهَى .

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Azzawaajiir menjelaskan:
Baca juga: Penjelasan fiqih tentang berbicara saat berwudlu atau mandi jinabat
Membuka aurat di kamar mandi tanpa ada darurat menurut Ibnu Suraqah bisa menggugurkan validitas persaksian seseorang.
Seperti dalam kitab Fatwa As-Syaasyi di sebutkan.
''Membuka aurat mencederai sifat adil seseorang'' begitu juga menurut Imam Al ghozali dan pengarang kitab 'Al-'Uddah. (
Menurut Imam Khonnathy ''Memasuki kamar mandi tanpa penutup menjadi fasik hal ini kalau menjadi kebiasaan'', Sedang menurut Iman Ibnu Burhan membuka aurat dalam keadaan sendiri (seperti dalam kamar mandi) tidak masalah.
(Az-Zawaajir




Hukum Fiqih Tentang Najisnya Anjing dari Lintas Madzhab

May 05, 2017

Benang merah Dasi - Fiqih bab najis [tentang najiznya anjing]

Fiqih bab Najis
Hallo Benang
081384451265


PERTANYAAN
BAGAIMANA HUKUMNYA ANJING DARI LINTAS MADZAB ? [Fiqih pem-banding]

JAWABAN
Sebelum lebih jauh menjawab, kita sepakati terlebih dahulu duduk masalahnya. Para ulama sepakat bahwa air liur anjing itu hukumnya najis. Namun mereka agak berbeda ketika menyebutkan apakah kalau air liuarnya najis, lantas tubuhnya juga najis.
A. Yang Disepakati Dalam Najisnya Anjing :
Air Liur
Para ulama tidak berbeda pendapat ketika menyebutkan najisnya air liur anjing. Sebab ada banyak hadits shahih terkait kenajisan air liur anjing. Oleh karena itu bila sebatas air liuarnya, umumnya para ulama menyepakati kenajisannya.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ‏ ‏‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا‏-‏متفق عليه ‏‏ ‏

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Rasulullah SAW bersabda"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim dan Ahmad)

أَنَّهُ دُعِيَ إلَى دَارِ قَوْمٍ فَأَجَابَ ثُمَّ دُعِيَ إلَى دَارٍ أُخْرَى فَلَمْ يُجِبْ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: إنَّ فِي دَارِ فُلانٍ كَلْبًا، قِيلَ لَهُ: وَإِنَّ فِي دَارِ فُلانٍ هِرَّةً فَقَالَ: إنَّ الْهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجِسَةٍ

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua beliau bersabda"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).
B. Yang Tidak Sepakat : Apakah Tubuh Anjing Ikut Najis Juga?
Namun ketika berbicara masalah hukum kenajisan badannya, mereka terpecah setidaknya menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian mengatakan bahwa tubuh anjing bukan termasuk najis, sementara sebagian yang lain menetapkan kenajisannya.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Para ulama mazhab Al-Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu bukan merupakan najis 'ain. Yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja.
Al-Kasani (w. 587 H), salah satu dari ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Badai' Ash-Shanai' sebagai berikut :

وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ

Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu tidak termasuk najis ain, maka mereka menjadikannya seperti semua hewan lainnya kecual babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.
[Al-Kasani, Badai' Ash-Shanai', jilid 1 hal. 63]
Ibnu Abdin (w. 1252 H) juga dari mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar, atau yang juga lebih dikenal dengan nama Hasyiyatu Ibnu Abdin, menuliskan sebagai berikut :

لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَابِ

Anjing bukan termasuk najis 'ain, kenajisannya karena daging dan darahnya yang belum menjadi najis ketika masih hidup selama ada dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Hukum anjing sebagai hukum hewan lainnya. [Dan itulah fatwanya], itulah yang shahih dan lebih dekat pada kebenaran.
[ Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar , jilid 1 hal 209]

2. Mazhab Al-Malikiyah
Al-Mazhab Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.
Ibnu Abdil Barr An-Namiri (w. 463 H) salah satu ulama dari mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut :

ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر

Dan pendapat mazhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci.
[ Ibnu Abdil Barr An-Namiri, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 161]
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) di dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah juga menuliskan hal yang sejalan bahwa semua hewan yang masih hidup termasuk anjing hukumnya suci.
[Ibnu Juzai Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, jilid 1 hal. 27]

وَأما الْحَيَوَان فَإِن كَانَ حَيا فَهُوَ طَاهِر مُطلقًا

Sedangkan semua hewan yang hidup maka hukumnya suci secara mutlak.

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat.
Al-Mawardi (w. 450 H) yang bisa jadi representasi dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :

أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إِلَّا خَمْسَةً: وَهِيَ الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ خِنْزِيرٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ

Semua hewan itu hukumnya suci kecuali lima jenis, yaitu anjing, babi, anak perkawinan anjing dan babi, anak perkawinan anjing dengan hewan suci, anak perkawinan babi dengan hewan suci.
[Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i, jilid 1 hal. 56]
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) yang juga merupakan icon mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin juga menetapkan kenajisan anjing.

وَأَمَّا الْحَيَوَانَاتُ، فَطَاهِرَةٌ، إِلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Adapun hewan-hewan semuanya suci kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satunya.
[Al-Imam An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin jilid 1 hal. 13]
Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya.
Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika juga najis, baik air kencing, kotoran atau keringatnya.
Baca juga: hukum fiqih najis tanah di jalan yang dilewati anjing
4. Mazhab Al-Hanabilah
Dalam masalah kenajisan tubuh hewan, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah punya pendapat yang sejalan dengan pendapat para ulama mazhab Asy-Syafi'iyah,yaitu bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu najis.
Ibnu Qudamah (w. 620H) dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam salah satu kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad menuliskan hewan itu ada tiga macam. Pertama adalah hewan suci, kedua hewan najis dan ketiga hewan yang para ulama berikhtilaf atas kenajisannya. Pada saat menyebutkan hewan yang najis, beliau memulainya dengan anjing.

القسم الثاني: نجس وهو: الكلب والخنزير وما تولد منهما فسؤره نجس وجميع أجزائه

Jenis kedua adalah hewan najis, yaitu anjing, babi dan yang lahir dari hasil perkawinannya. Semua bagian tubuhnya najis.
[Ibnu Qudamah, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, jilid 1 hal. 40]
Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah [w. 682 ] menuliskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni' sebagai berikut :

لا يختلف المذهب في نجاسة الكلب والخنزير وما تولد منهما أنه نجس عينه وسؤره وعرقه وكل ما خرج منه

Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Hanbali) atas najisnya anjing dan babi serta hewan yang lahir dari keduanya. Bahwa semuanya najis ain, termasuk liur, keringat dan apa-apa yang keluar dari tubuhnya.
[ Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni', jilid 1 hal. 284]
Demikian sedikit hasil penelitian di dalam kitab fiqih para ulama terkait dengan perbedaan pendapat kenajisan anjing.
Oleh: Ahmad Sarwat, Lc., MA
By Fiqih muqorrin.

Berbicara saat Berwuhu atau Mandi Jinabat

April 23, 2017

BenangmerahDasi - Fiqih bab thoharoh [masih tentang boleh dan tidaknya]

Fiqih bab thoharoh
No: 00202
Hallo Benangmerah
WA:081384451265

DESKRIPSI
Di kisahkan dalam salah satu pesantren putri Mamba'ul Ulum Ketika sudah masuk waktu sholat dzuhur semua Santri Putri yang tidak berhalangan [menstruasi] mengambil wudhu,saking asyiknya mengikuti kajian Kitab Qurrotul Ayyun yang dibawakan oleh gus M Akmaluddin putra mbah yai Fathur El-Rozy pengasuh pondok mamba'ul ulum,beberapa Santri Putri asyik ngobrol sambil berwudhu.

PERTANYAAN
APAKAH BATAL, DALAM BERWUDHU ATAU MANDI JINABAT SAMBIL BICARA..?

JAWABAN
Tidak batal. Berbicara saat mandi wajib tidak membatalkan mandi junub. Sama dengan berbicara saat sedang wudhu..

Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 1/490 - 491 ketika menuturkan tentang sunnahnya wudhu menyatakan:

وأن لا يتكلم فيه لغير حاجة.
وقد نقل القاضي عياض في شرح صحيح مسلم : أن العلماء كرهوا الكلام في الوضوء والغسل , وهذا الذي نقله من الكراهة محمول على ترك الأولى , وإلا فلم يثبت فيه نهي ، فلا يسمى مكروها إلا بمعنى ترك الأولى

Artinya:
Dan hendaknya orang yang berwudhu tidak berbicara kecuali ada perlunya. Qadhi Iyadh menyatakan dalam Syarah Muslim: "Ulama memakruhkan berbicara saat wudhu dan mandi junub." Kemakruhan yang dinukil Qadhi Iyadh ini maksudnya adalah meninggalkan keutamaan. Karena tidak ada larangan yang jelas (dari Quran dan Sunnah). Jadi kata 'makruh' di sini bermakna 'meninggalkan yang lebih utama.'
Baca juga: fiqih tentang make UP saat berwudhu
وأما مكروهاته فالإكثار من صب الماء وكثرة الكلام في غير ذكر الله والزيادة على الثلاثة في المغسول وعلى واحدة في الممسوح على الراجح وإطالة الغرة ومسح الرقبة والمكان الغير الطاهر وكشف العورة والله أعلم

( قوله : على الراجح ) أي من القولين السابقين في قوله وهل تكره الرابعة أو تمنع خلاف ( قوله : وكشف العورة ) أي مع عدم من يطلع عليها ، وأما كشفها مع وجود من يطلع عليها غير الزوجة والأمة فهو حرام لا مكروه فقط .

Hasyiyah Addaasuuqi I/104

“Kemakruhan dalam wudhu (menurut madzhab maliki) :
~ Memakai air berlebih
~ Banyak berbicara selain dzikir
~ Menambah lebih dari tiga kali dalam basuhan dan lebih sekali dalam mengusap menurut pendapat yang kuat
~ Memanjangkan basuhan anggauta wudhu
~ Mengusap leher
~ Berwudhu di tempat yang tidak suci
~ Membuka aurat

Keterangan “Membuka aurat” sepanjang tidak ada orang yang melihatnya, tapi bila ada yang melihat aurat yang terbuka saat wudhu tersebut selain istri dan budak wanita hukumnya menjadi haram
Hasyiyah Addaasuuqi I/104

Fiqih Tentang Pakaian yang di Laundry-kan

April 20, 2017

BenangmerahDasi -Fiqih bab thoharoh  [dilema laundry]

Fiqih bab Thoharoh
No: 00197
Hallo Benangmerah
WA:081384451265

DILEMA LAUNDRY

Dalam era modern ini, kehidupan masyarakat mayoritas berpikir instan; yang mana segala sesuatu inginnya praktis dan cepat, termasuk dalam hal mencuci pakaian. Sehingga muncul yang namanya bisnis jasa cuci pakaian atau yang biasa dikenal dengan istilah laundry.

Dikarenakan kebutuhan akan laundry meningkat, maka akhirnya laundry pun mulai muncul di banyak daerah, akan tetapi dalam prakteknya ternyata ada pakaian yang bersih, kotor dan najis yang tercampur tanpa disucikan terlebih dahulu.

PERTANYAAN
1▪Melihat realita yang ada, bisakah pelanggan menganggap pakaiannya suci hanya dengan berpedoman bahwa pemiliknya adalah seorang muslim?
2▪Bagaimana hukum melaundrykan dan menerima laundryan dengan praktek tersebut?

[PP Al-Falah Ploso Kediri]


JAWABAN
1▪Bisa menganggap suci bila disertai qorinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa pakaian sudah disucikan, semisal diterimanya pakaian dalam keadaan bersih dan rapi.
2▪Diperbolehkan.

Baca juga: Hukum fiqih tanah di jalan yang dilewati anjing
Referensi

الفتاوى الفقهية الكبرى جـ 1 صـ 6
الأمر الثاني عشر أن الإمام الشافعي قال لو مر مجتازون بميت في صحراء لزمهم القيام به فإن تركوه أثموا فإن كان ليس عليه أثر غسل ولا تكفين وجب عليهم غسله وتكفينه والصلاة عليه ودفنه وإن كان عليه أثر الغسل والكفن والحنوط دفنوه وإطلاق هذا النص يقتضى أنه لا فرق بين أن يتبين أن الذي غسله كان فاسقا أم لا فإذا اكتفينا بوجود اثر الغسل والتكفين والحنوط مع أن تقديم إزالة النجاسة التي على قبل الميت ودبره شرط لصحة الغسل على الراجح كما نقله الشيخ محيي الدين النووي في شرح مسلم عن الأصحاب فقبول قوله في تطهير الثوب مع وجود أثر الغسل عليه أولى.

الأشباه والنظائر – (ج 1 / ص 64)
الثاني ما يرجح فيه الظاهر جزما وضابطه أن يستند إلى سبب منصوب شرعا كالشهادة تعارض الأصل والرواية واليد في الدعوى وإخبار الثقة بدخول الوقت أو بنجاسة الماء وإخبارها بالحيض وانقضاء الأقراء أو معروف عادة كأرض على شط نهر الظاهر أنها تغرق وتنهار في الماء فلا يجوز استئجارها وجوز الرافعي تخريجه على تقابل الأصل والظاهر.

الفتاوى الفقهية الكبرى جـ 1 صـ 5
(وسئل) – رضي الله عنه – عن مسألة اختلف في الجواب عنها جماعة صورتها شخص تنجس ثوبه فأعطاه فاسقا، وأمره بتطهيره من تلك النجاسة فغاب عنه الفاسق بالثوب ثم جاء به وعليه أثر الغسل وأخبر أنه طهره فهل يقبل قوله في طهارة الثوب المذكور أم لا؟

أجاب الأول فقال: لا يقبل قوله في طهارته لأمور أحدها: أن الأئمة – رضي الله عنهم – قالوا بعدم قبول قوله في نجاسة الإناء وقياسه عدم قبول قوله في طهارة الثوب. .-الى ان قال-وأجاب الثاني فقال: الأظهر أنه يقبل قوله في طهارة الثوب لأمور أيضا أحدها أن قبول قوله في طهارة الثوب هو الأفسح للناس الأمر.-الى ان قال-.وأجاب الثالث فقال: الأقرب أنه إن أخبر بأن الثوب طهر لم يقبل قوله وإن أخبره أنه طهره قبل قوله؛ لأنه إخبار عن فعل نفسه كقوله: بلت في هذا الإناء أو أنا متطهر أو محدث وكمسألة ما إذا أخبر بأن الميت غسل فلو أخبر بأنه غسله قبل قوله وكمسألة المتولي المذكورة وهذا مستثنى من أصل عدم قبول قول الفاسق والله أعلم. فظهر لنا من جواب الثاني والثالث قبول قول الفاسق في تطهير الثوب. فهل جوابكم كذلك؟ فقد ذكر الشيخ شرف الدين المناوي أن الفاسق يقبل قوله في مسائل لا تخفى على الفقيه المطلع على كتب الأئمة وفتاويهم فلعل مسألتنا أن تكون من هذا القبيل أوضحوا لنا القول في ذلك بجواب شاف أثابكم الله الجنة. (فأجاب) – نفع الله بعلومه – المعتمد من هذه الأجوبة وهو الثالث ومن ثم جريت على التفصيل في شرح العباب وعبارتي من شرح العباب (وخرج بعدل الرواية الصبي) ولو مراهقا نعم تصح رواية الصبي بعد بلوغه كل ما سمعه في صباه على الصحيح فعليه لو أخبر بعد بلوغه عما شاهده في صباه من تنجس إناء أو ثوب أو نحوهما قبل، ووجب العمل بمقتضاه في الزمن الماضي أيضا.-الى ان قال-وبما تقرر يعلم أن قول نحو الفاسق ممن ذكر طهرت الثوب مقبول لأنه أخبر عن فعل نفسه بخلاف قوله طهر وبه أفتى المناوي وغيره بل صدر كلامه صريح في اعتماد قوله مطلقا وفرق بينه وبين إخباره بالنجاسة بأن ذلك فيه خروج عن الأصل وهو الطهارة وبالمشقة لكثرة الاحتياج إلى الغسالين مع فسقهم وحيث قبل إخباره بالطهارة بأن يقول طهرته فالظاهر أنه لا بد من معرفته مدلولها عند المخبر بخلاف قوله غمسته في الماء وهو مما يطهر بالغمس.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج جـ 1 صـ 493
فلا يكفي إخبار كافر وفاسق ومميز إلا إن بلغوا عدد التواتر أو أخبر كل عن فعله فيقبل قوله عما أمر بتطهيره طهرته لا طهر

( قوله وفاسق إلخ ) أي ومجنون ومجهول نهاية ومغني أي مجهول العدالة ع ش -الى ان قال- ( قوله أو أخبر كل عن فعل نفسه ) لا يخفى أن إخباره عن فعل نفسه غايته أنه كإخبار العدل الذي لا بد معه من بيان السبب أو كونه فقيها موافقا فلا بد من ذلك هنا أيضا فلا يكفي نحو قوله نجست هذا الماء إلا إن بين السبب أو كان فقيها موافقا كصببت فيه بولا ، وأما نحو قوله بلت فيه ففيه بيان السبب ولا يكفي طهرته إلا إن بين السبب كغمسته في البحر هذا هو الوجه وكلام الشارح يمكن حمله عليه فليتأمل.

شرح الياقوت النفيس صـ 98-99
غسل الثياب في الغسالات: بقي معنا الكلام على حكم غسل الثياب في الغسالات, واحتلاط الطاهرات بالمتنجسات, وقد مر معنا أن الماء إذا كان دون القلتين ينجس بمجرد وقوع النجسة فيه وقالوا إذا كان الماء دون القلتين المعتمد أن يكون واردا علي ما تريد طهارته به, لأنه يكون أقوى, وهناك قول آخر بعدم اشتراط الورود. والغزالي ينقد من قال بورود الماء ويقول: ما هو الفرق بين صب الماء على الثوب ووضعه فيه؟ وابن سريج يقول كذلك كله سواء وهذا إنما هو توهم وممن قال بالورود يقصد أن الماء يرد على الثوب ثم ينصرف وإنما في الغسالة يرد ويبقى محله.

والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لا خلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني: من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وفيها دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم ينصرفونه فيبقي شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورودالماء مع القول في مذهب مالك. وهنلك قول آخر نقاه ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجسة فيه لكن نقل قول الآخر وهو أنه لا ينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجسة والقل الذي يقول لا ينجس الماء إلا بالتغير قواه في التحفة ولكنه أكد الأول وعندنا من مرجحات المذهب إذا وافق القول الضعيف عندنا في المذهب قولا في مذهب ثان قوي صار قويا.

Jalsah Tsalitsah

MUSHOHHIH PERUMUS
MODERATOR

1. KH. Atho’illah S. Anwar
2. K. Anang Darunnaja

3. KH. Zahro Wardi

4. K. M. Masruchan

1. Agus H. M. Sa’id Ridlwan
2. K. Abdul Manan

3. Ust. Muh Anas

4. Ust. Hanif Abdul Ghofir

5. Ust. M. Dinul Qoyyim

6. Ust. Sibromulisi

Ust. Muda’imullah Azza
NOTULEN

1. Ust. M. Hilmi Bik Nada
2. Ust. Miftahul Huda

3. Ust. M. Ali Arinal Haq

Keputusan Komisi A Bahtsul Masail FMPP Se-Jawa Madura XXX di PP Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat, 21-22 Oktober 2016 M/ 20-21 Muharram 1438 H


 
Copyright © benangmerahdasi.com. Designed by OddThemes & VineThemes