Belajar Tiada Akhir


Benangmerahdasi -Belajar tiada akhir
oleh: Kh.mustofa bisri

... Bisa menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia tentang adanya bahaya tersembunyi dalam gagasan dan usaha-usaha untuk mengubah Indonesia dari negara bangsa menjadi negara agama, Negara Islam. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi Islam sendiri. Bagi bangsa Indonesia, perubahan menjadi negara agama akan menjadi awal reduksi kekayaan budaya dan kebebasan beragama tidak hanya bagi nonmuslim melainkan juga bagi Muslim sendiri, bahkan distorsi terhadap Islam sendiri. Bagi nonmuslin, perubahan ini bisa membuat mereka mengalami alienasi psikologis dan sosial di sebuah negara yang menganut keyakinan resmi berbeda dari keyakinan yang mereka anut. Sedangkan bagi Muslim, perubahan ini akan berarti penyempitan, pembatasan, dan hilangnya kesempatan untuk menafsirkan pesan-pesan agama sesuai dengan konteks sosial dan budaya bangsa Indonesia, dan setiap pembacaan yang berbeda dari tafsir resmi negara akan menjadi subversif dan harus dilarang.
.
Bagi Islam sendiri, formalisasi akan mengubahnya dari agama menjadi ideologi yang batas-batasnya akan ditentukan berdasarkan kepentingan politik. Islam yang semula bersifat terbuka dan luas, hidup layaknya organisme yang komunikatif dan interaktif dengan situasi dan kondisi para penganutnya, dan akan dibungkus dalam kemasan ideologis dan berubah menjadi monumen yang diagungkan tanpa peduli pada tujuan sejati dan luhur dari agama itu sendiri. Akhirnya, agama menjadi ghayah, tujuan akhir, bukan lagi jalan sebagaimana semula ia diwahyukan. Keridlaan Allah yang merupakan ghayah pun semakin jauh.
.
Usaha-usaha menjadikan Islam sebagai ideologi dan mewujudkan Negara Islam boleh jadi disebabkan adanya semangat yang berlebihan namun tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Semangat yang berlebihan dapat mendorong seseorang untuk memutlakkan pengetahuan yang dicapai, sekalipun bersifat parsial. Akibatnya, pengetahuan lain yang berbeda dipandang sebagai salah dan harus ditolak. Menarik membandingkan pemahaman parsial ini dengan hikayat “Meraba Gajah dalam Gelap”, lima orang yang berselisih tentang gajah semata karena mereka masing-masing merabanya dalam gelap, dalam terbatasnya jangkauan pengetahuan, dan dalam ketiadaan cahaya (hidayah).
.
Bagi siapa pun yang mengerti sepenuhnya tentang gajah, sungguh menggelikan mendengar kelima orang itu terus berselisih, bersikeras memaksakan definisinya tentang gajah berdasarkan hasil rabaan yang dilakukannya. Sialnya lagi, karena memang tidak percaya diri dengan pengetahuan yang dicapainya, ada di antara mereka yang berusaha menjadikan pemahamannya tentang gajah sebagai madzhab resmi, sementara pemahaman rekannya yang berbeda, karena menjadi ancaman bagi pandangan resminya, dipandang sebagai subversif dan harus dibungkam.
.
Tidak berhenti di situ saja. Karena semangat yang berlebihan dan merasa mengamalkan sabda Nabi, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat,”—kembali ke hikayat gajah – ada saja yang bersikeras dan memaksa orang lain mengakui bahwa gajah seperti pohon, atau ayunan, atau tembok, atau pecut, atau kipas. Atau, dalam realitas interaksi sosial-religius, Islam direduksi menjadi ideologi dan seperangkat konklusi hukum semata, yang hanya mewakili sebagian kecil aspek ajaran Islam sendiri.semangat menyampaikan dari Rasulullah yang terlalu besar, ternyata sering membuat orang memahami sabda beliau itu hanya menjadi “Sampaikan dariku cukup satu ayat saja.” Dan semakin parah lagi bila yang bersangkutan menganggap bahwa satu ayat yang yang dimilikinya itu adalah satu-satunya kebenaran yang harus disampaikan ke mana-mana dengan mempersetankan ayat-ayat lainnya.
.
Andai masing-masing terus belajar, saling mendengarkan dengan yang lain, tentu pemahaman mereka akan lebih baik dan lengkap. Karena sebenarnya, kebenaran kita berkemungkinan salah, dan kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Siapa pun yang telah tertutup mata hatinya – antara lain karena merasa diri paling pintar dan paling benar – tidak akan mampu melihat pemahaman lain yang berbeda, yang tersisa adalah arogansi (takabbur) dan penolakan terhadap yang lain. Ketika arogansi dimulai, ketika mendengarkan orang lain diakhiri, ketika belajar dihentikan, maka kebodohan dimulai, suatu keadaan yang sangat berbahaya bagi yang bersangkutan dan seluruh umat manusia.
.
Kebodohan adalah bahaya tersembunyi yang ada dalam setiap orang, mengatasinya adalah dengan terus belajar dan terus mendengarkan orang lain. Karena kebodohan pula ada orang-orang yang berusaha menyenangkan Nabi dengan hanya meniru penampilan lahiriahnya namun mengabaikan aspek khuluqiyahnya; ada yang ingin menyenangkan Tuhan dengan membangun negara agama namun mengubah agama itu sendiri dari semula sebagai jalan kemudian menjadi tujuan akhir. Mereka berpikir, Kanjeng Nabi Muhammad saw akan bahagia jika umatnya memakai busana sebagaimana beliau pakai empat belas abad yang lalu; Mereka berpikir Allah swt akan senang (ridla) jika Islam dijadikan ideologi resmi negara dan hamba-Nya membangun negara agama, Negara Islam. Dalam hal inilah mereka lupa bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw telah menegaskan diri bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, akhlak yang luhur (innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq), mereka juga lupa bahwa satu-satunya prinsip dan tujuan diutusnya Rasulullah adalah sebagai rahmat bagi seluruh makhluk (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil álamin). Bahkan, dengan berdalih untuk menegakkan rahmat ini pun , ada saja yang berusaha memaksa orang lain masuk ke dalam apa yang mereka anggap rahmat; sebuah tindakan yang dari sudut pandang mana pun sebenarnya bertentangan dengan semangat rahmat itu sendiri.
.
Dalam konteks pendidikan dan dalam konteks nilai-nilai luhur pesan utama Islam ini, buku Ilusi Negara Islam ini membawa pesan pendidikan yang sangat jelas dan tegas. Bahaya laten atau bahaya tersembunyi yang sebenarnya dari gagasan pembentukan Negara Islam adalah kekurangtahuan yang dibarengi dengan anggapan kesempurnaan pengetahuan. Jika semua orang terus belajar dan mau mendengarkan orang lain, maka mereka akan semakin baik dan menyeluruh dalam memahami Islam, mereka tidak akan mereduksi Islam menjadi ideologi atau tata negara. Mereka akan tahu bahwa Islam tidak cukup dikemas dalam ideologi, tidak memadai dibungkus dalam sekat-sekat tata negara. Karena itu, gagasan penting dalam buku ini adalah perjuangan untuk terus mendorong setiap orang agar terus belajar, perjuangan untuk melawan kebodohan, perjuangan untuk mendorong setiap orang untuk terus membuka diri terhadap siapa pun, perjuangan untuk membebaskan setiap orang agar keluar dari kotak-kotak ideologis dan kotak-kotak dogmatis yang selama ini membelenggu mereka dan telah menjebak mereka memahami ajaran luhur agama hanya sebatas pesan yang bisa ditampung oleh kotak yang mereka bangun.
.
Sekali lagi, ketidaktahuan bisa diatasi dengan melihat, mendengar, dan memperhatikan. Dengan terus belajar. Yang sungguh sulit dan menjadi masalah adalah jika orang tidak lagi memerlukan belajar dan mencari kebenaran karena merasa sudah sempurna pengetahuannya dan menganggap diri paling benar. Siapa pun mungkin akan sepakat bahwa kebodohan adalah sesuatu yang sangat berbahaya, namun tidak setiap orang sadar akan bahaya laten kebodohan dalam dirinya sendiri.
.
K.H.A. Mustofa Bisri dalam Belajar Tanpa Akhir, epilog buku Ilusi Negara Islam.
.
Wallahu a’lam.
.
Rembang, 9 Februari 2009.

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © benangmerahdasi.com. Designed by OddThemes & VineThemes