BenangmerahDasi -Sekalipun kebenaran ada pada pihaknya, tidak ada yang meragukan itu- Rasul S.A.W. TIDAK Pernah menyampaikan kebenaran itu dengan menyakiti perasaan orang yang diajaknya atau diajarnya. Ini yang mestinya di teladani bagi para pendakwah atau setidaknya penyampai ''kebenaran''.
Benar sudah pasti tapi tak ada kata-kata kotor menyertai, tak juga ada kemarahan yang mengikuti, ''ngotot'' bukan gaya Nabi, menyindirpun sselalu Nabi S.A.W. jauhi, tak satupun tersakiti dari makhluk mulia ini.
BUKTINYA ;
Dalam shahih al-Bukhari di kitab shalat Tahajjud, Nabi S.A.W pernah memberikan nasehat kepada para sahabat untuk tidak mengikuti 'fulan', sebab si ''fulan'' malam hari bangun, tapi tidak shalat. Maksudnya kalau bangun di malam hari, sempatkan shalat malam. Jangan ikut prilaku si ''fulan'' yang jelas terindikasi buruk oleh Nabi S.A.W. hebatnya tak ada nama yang di sebut Nabi S.A.W.walapun beliau tau siapa yang bangun tapi tidak shalat, tak disebutnya nama orang tersebut, agar tidak di ketahui orang lain sehingga sahabat lain memandangnya rendah, akhirnya si "fulan'' jadi malu.
Itu Nabi S.A.W, menutupi aib orang lain, tak pernah mengajak orang lain ''ngrasani" saudaranya sendiri sesama islam.
Muslim bin-hajjaj dalam shahih-nya pun pernah meriwayatkan cerita rumah tangga Nabi S.A.W yang pulang kerumah sayyidah 'Aisyah , lalu bertanya tentang ketersediaan makanan di rumahnya. Ternyata tidak ada makanan yang bisa di makan. Nabi S.A.W membalas: "ya sudah kalau gitu saya puasa saja.''
hmmm... Mungkin beda ceritanya kalau itu terjadi di rumah saya. Owh bukan tidak mungkin saya akan marah, bahkan marah dengan plus-plusnya .
Ya itu Nabi S.A.W., ditempat yang 'wajar' marah, tapi justru memilih ibadah.
Lebih jauh lagi, Nabi S.A.W. yang di riwayatkan oleh semua ulama sunan ( Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa'i juga ibn Majah ) termasuk al Bukhari dan muslim bin al- hajjaj, Beliau S.A.W menetapkan hukum bagi mereka yang meninggalkan shalat. Beliau katakan; '' siapa yang tidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat, maka baginya mengganti shalat itu ketika ia sadar/ bangun''. Maksudnya wajib qada shalat baginya yang meninggalkan shalat karna tidur atau lupa.
Walaupun ada ulama yang mengamalkan secara tekstual, bahwa yang wajib qadha itu hanya orang lupa atau tidur. Tapi madzhab 4 sunni muktamad justru sepakat bahwa qadha itu wajib bagi mereka yang meninggalkan shalat , apapun alasanya. Lupa dan tidur yang masuk katagori tidak berdosa saja wajib qadha, apalagi yang meninggalkanya sengaja, tentu jauh lebih wajib lagi.
Baca juga: Kisah sakral terciptanya lambang NUIman Badr Al-Diin Al- 'Ainy, seorang faqih Hanafiyah dalam kitabnya Syarhu al- Hidayah menjelaskan kenapa sebab Nabi S.A.W. hanya menyebut orang tidur dan lupa dalam hadist tersebut, kenapa tidak langsung saja Nabi S.A.W. mengatakan; ( من ترك ) '' siapa yang meninggalkan'', bukan dengan redaksi; ''lupa atau tertidur"? itu karena Nabi S.A.W. mengatakan seperti itu sebagai bentuk husnudhon ( prasangka baik ) kepada muslim. Akan tetapi hukum yang terkandung di dalam hadist tersebut tidak terbata hanya untuk orang yang lupa atu tertidur, tapi justru untuk semua yang meninggalkan sholat , sengaja atau tidak.
Dengan bahasa yang lebih sederhana; ''muslin itu ( idealnya ) tidak mungkin meninggalkan shalat. Kalaupun meninggalkan shalat, itu mesti karena ketidak sengajaan atau karena memang di luar kontrolnya; mungkin dia lupa atu mungkin juga dia ketiduran'', itu Nabi S.A.W. menyampaikan sambil mengajarkan baik sangka, dan adab.
Dan nyatanya non-muslim pun di perlakukan sama oleh Nabi S.A.W., sama-sama tidak ada sindiran serta tak juga menyakiti perasaan. Lihat saja riwayat al-Bukhari dalam bab al-Isti'dzan; ketika ada seorang yahudi datang kerumah Nabi S.A,W. sambil melempar salam dengan redaksi ( السام عليك يا محمد ) "kecelakaan bagimu, Muhammad". Mendengar sang suami dicela, sayyidah 'Aisyah marah. Dengan nada tinggi beliau membalas; ( وعليك السام واللعنة ) '' bagimu juga kecelakaan dan laknat Tuhan''.
Mendengar sayyidah 'Aisyyah yang marah Rosul kemudian berkata kepadanya; '' tenang saja wahai 'Aisyyah, sesunguhnya allah S.W.T cinta kelemah lembutan dalam segalaperkara''. kemudian Nabi S.A.W. menjelaskan, bahwa menjawab salam seperti itu cukup dengan kalimat ''wa'alaikum'', tidak perlu marah sambil melaknat. Karena memang Allah S.W.T cinta kesantunan dan kelemah lembutan dalam segala perkara. Lihat bagaimana luhurnya akhlak Nabi S.A.W. bahkan kepada non-muslim sekalipun, beliau tidak membalas dengan murka.
Terakhir, coba kita buka lagi buku sejarah, tentu kita hapal betul tentang surat-surat Nabi S.A.W. kepada para raja-raja guna mendakwah Islam. Dari mulai Muqouqis (Pengusaha mesir), Hiraql (Raja Rum), Kista (Petinggi Persia),al- Mundzir (Pemangku Bahrain), sampai al- Najasyai (Etiophia), hapal redaksi surat beliau S.A.W.?
Adakah kalimat murka, laknat sambil menghakimi bahwa mereka raja zalim yang mengajak penduduknya menuju kesengsaraan? tidak justru beliau S.A.W mengajak dengan penuh kesopanan dan teteap mengakui kedudukan mereka sebagai raja, bahkan di awal suratnya beliau selalu menuliskan 'jabatan' si tertuju surat, padahal mungkin saja kepemimpinanya di raih dengan jalan yang Islam yang tidak meridhai itu, Nabi S.A..W. tetap menghormati itu.
Itu Nabi S.A.W. , bisa santun kepada siapapun dan itu memang misi beliau dari Allah S.W.T.
Maka silahkan berdakwah, dengan baik, santun, sekreatif mungkin dengan gambar, meme, tapi tetap menghormati perbedaan dalam masalah yang memang boleh berbeda. Dan jelas tidak perlu memasang gambar 'api; toh tidak ada yang bisa memastikan, bahwa yang di dakwai itu di ujung hayatnya akan terkena api',sebagai mana juga tidak ada yang bisa memastikan bahwa si pendakwah itu akhir hayatnya selamat dari 'api'.
Wallahu al-musta'an
Oleh; ahmad Zarkasih Lc.
Post a Comment