BenangmerahDasi -PENCERAMAH ASBUN
Oleh: Ahmad Ishomuddin
Sejak zaman dulu sudah ada tukang cerita yang dalam referensi klasik berbahasa Arab disebut qushshash. Bahkan Abu al-Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzi (wafat: 597 H.) menulis buku berjudul "al-Qushshash wa al-Mudzakkirin". Penyampai cerita-cerita keagamaan tersebut dalam istilah sekarang disebut penceramah.
Bukan hanya terjadi zaman sekarang, sejak dahulu kala ada sebagian penceramah yang suka membual, mengarang cerita-cerita aneh (gharaib) dan mengagumkan ('ajaib) lalu menyebutnya sebagai hadits Nabi. Sebagian mereka nekad mengarang hadits palsu demi mengajak orang lain agar berbuat kebaikan dan gemar beribadah, di antaranya Abu Daud al-Nakha'i adalah seorang yang paling lama shalatnya dimalam hari dan paling banyak berpuasa disiang hari, demikian halnya Wahb bin Hafs, seorang ahli ibadah yang mengasingkan diri (ber-'uzlah) dan tidak berbicara selama 23 tahun, sebagaimana ditulis oleh Ibn al-Jauzi dalam al-Maudu'at, Juz 1, halaman 18.
Sejak dahulu hingga kini ada sementara penceramah agama yang sengaja menonjolkan diri dengan berpenampilan lahiriah seperti orang saleh, zuhud dan ahli ibadah agar dihormati dan menarik simpati orang-orang awam, padahal ia hanya bermodal semangat dan tanpa didasari ilmu-ilmu agama yang mendalam dan ilmu-ilmu bantu lainnya.
Dengan menyimak materi ceramahnya yang lebih banyak berisi humor dan gurauan--seperti layaknya pelawak sebagai tontonan--atau berisi ujaran kebencian kepada siapa dan apa saja daripada ilmu agama dari ulama yang mu'tabar (otoritatif) yang memberikan tuntunan meraih cahaya kebenaran, maka orang yang berilmu segera tahu bahwa ia adalah penceramah karbitan yang asbun. Penceramah asbun (asal bunyi) seperti ini, selain akan mengeraskan hati para pendengarnya, juga dapat menggerus keimanan, merusak akhlak, mencelakakan, dan melemahkan semangat beribadah serta menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus (al-Islam).
Penceramah asbun senang mengutip dalil dari ayat al-Qur'an dan atau hadits Nabi sekedar untuk berdalih, tetapi ia bacanya saja tidak benar, ia tidak memahami maksudnya dengan baik sebagaimana yang dipahami oleh ulama yang masyhur keilmuannya. Apabila diajukan pertanyaan kepadanya maka ia tergesa-gesa dan tanpa pikir panjang segera menjawabnya, semua pertanyaan dijawabnya, dan ia merasa gengsi mengatakan "la adri (saya tidak tahu)."
Padahal jika benar-benar tidak tahu jawabannya mengatakan "saya tidak tahu" tidaklah akan menjatuhkan martabat keilmuannya. Hal itu justru menjadi tanda ketaqwaan karena ia telah berhati-hati dalam berfatwa, pandai mengendalikan diri agar tidak terjerumus dalam kebohongan dan kesalahan.
Bagi orang-orang awam penceramah yang berpenampilan luar bagai seorang ulama besar tersebut tentulah sulit terdeteksi, karena sejak awal melihatnya mereka sudah terpukau oleh penampilannya yang terkesan 'alim dan saleh. Padahal ulama telah melarang kalangan awam (jahil) berpakaian seperti layaknya orang berilmu ('alim), karena selain dapat menipu orang lain, merusak citra ulama juga menghilangkan wibawa ilmu. Para penceramah asbun itu pada hakikatnya adalah para penipu di bidang agama yang berpotensi merusak dan membahayakan kemanusiaan. Dosa (bahaya) nya lebih besar daripada manfaatnya.
Post a Comment