Taqlid Bagi Orang yang Tidak Memiliki Keahlian Untuk Berijtihad


Benangmerahdasi.com -Wajibnya Taqlid bagi orang yang tidak memiliki keahlian untuk berijtihad

فَصْلٌ) فِيْ بَیَانِ وُجُوْبِ التَّقْلِیْدِ لِمَنْ لَیْسَ لَھْ أَھْلِیَّةُ الْإِجْتِھَاد


PASAL MENJELASKAN WAJIBNYA TAQLID BAGI ORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJITHAD

یَجِبُ عِنْدَ جُمْھُوْرِ الْعُلَمَاءِ الْمُحَقِّقِیْنَ عَلَى كُلِّ مَنْ لَیْسَ لَھُ أَھْلِیَّةُ الْإِجْتِھَادِ الْمُطْلَقِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ حَصَلَ بَعْضُ الْعُلُوْمِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْإِجْتِھَادِ
، {تَقْلِیْدُ قَوْلِ الْمُجْتَھِدِیْنَ وَالْأَخْذُ بِفَتْوَاھُمْ لِیَخْرُجَ عَنْ عُھْدَةِ التَّكْلِیْفِ بِتَقْلِیْدِ أَیِّھِمْ شَاءَ لِقَوْلِھِ تَعَالَى: {فَاسْأَلوْا أَھْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
فَأَوْجَبَ السُّؤَالَ عَلَى مَنْ لَمْ یَعْلَمْ ذَلِكَ، وَذَلِكَ تَقْلِیْدٌ لِعَالِمٍ، وَھُوَ عَامٌّ لِكُلِّ الْمُخَاطَبِیْنَ،

Menurut pandangan jumhur ulama, setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa
cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taqlid) pada satu qoul dari para imam mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia
dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa
saja yang ia kehendaki dari salah satu imam mujtahid. Sebagaimana difirmankan oleh Alloh Ta’ala:
 “Maka bertanyalah kalian semua pada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui.”
Alloh mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak mengetahui. Nah bertanya itu merupakan
perwujudan sikap taqlid seseorang pada orang yang alim. Firman Alloh ini berlaku secara umum
untuk semua golongan yang dikhithobi (obyek sasaran perintah).

وَیَجِبُ أَنْ یَكُوْنَ عَامًّا فِي السُّؤَالِ عَنْ كُلِّ مَا لَا یُعْلَمُ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى أَنَّ الْعَامَّةَ لَمْ تَزَلْ فِيْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِیْنَ وَكُلِّ حُدُوْثِ
الْمُخَالِفِیْنَ یَسْتَفْتُوْنَ الْمُجْتَھِدِیْنَ وَیَتَّبِعُوْنَھُمْ فِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِیَّةِ وَالْعُلَمَاءَ، فَإِنَّھُمْ یُبَادِرُوْنَ إِلَى إِجَابَةِ سُؤَالِھِمْ مِنْ غَیْرِ إِشَارَةٍ إِلَى ذِكْرِ
الدَّلِیْلِ، وَلَا یَنْھَوْنَھُمْ عَنْ ذَلِكَ مِنْ غَیْرِ نَكِیْرٍ، فَكَانَ إِجْمَاعًا عَلَى اتِّبَاعِ الْعَامِّيِّ لِلْمُجْتَھِدِ،

Secara umum pula, firman Alloh ini mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala
sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan jumhurul ‘ulama. Karena sesungguhnya
orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman genmasasi sahabat, tabi’in dan hingga
zaman setelahnya. Mereka wajib meminta fatwa pada para mujtahid dan mengikuti fatwa2 mereka
dalam hukum2 syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk ulama.
Karena sesungguhnya para mujtahid dan ulama bersegera menjawab pertanyaan mereka tanpa
memberi isyaroh untuk menuturkan dalil. Para mujtahid dan ulama tidak melarang orang awam
 minta fatwa tanpa ada pengingkaran. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya
kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid.

وَلِأَنَّ فَھْمَ الْعَامِّيِّ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ سَاقِطٌ عَنْ حَیْزِ الْإِعْتِبَارِ، إِنْ لَمْ یُوَافِقْ أَفْھَامَ عُلَمَاءِ أَھْلِ الْحَقِّ الْأَكَابِرِ الْأَخْیَارِ

Dan orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami al-Kitab dan asSunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman
ulama ahlul haq yang agung dan terpilih.

.فَإِنَّ كُلَّ مُبْتَدِعٍ وَضَالٍّ یَفْھَمُ أَحْكَامَھُ الْبَاطِلَةَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَیَأْخُذُ مِنْھُمَا وَالْحَالُ أَنَّھُ لَا یُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَیْئًا

Karena sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan orang yang sesat, mereka memahami hukum2
secara bathil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah
tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

وَلَا یَجِبُ عَلَى الْعَامِّيِّ إِلْتِزَامُ مَذْھَبٍ فِيْ كُلِّ حَادِثَةٍ، وَلَوْ اِلْتَزَمَ مَذْھَبًا مُعَیَّنًا كَمَذْھَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَھُ االلهُ تَعَالَى لَا یَجِبُ عَلِیْھِ الْإِسْتِمْرَارُ،
.بَلْ یَجُوْزُ لَھُ الْإِنْتِقَالُ إِلَى غَیْرِ مَذْھَبِھِ

Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam
menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu
madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Syafi’i rohimahulloh, tidaklah selamanya ia harus
mengikuti madzhab ini. Bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain
selain madzhab Syafi’i.
Baca juga: Pentingnya berpegang teguh pada salah satu madzhab yang empat
وَالْعَامِّيُّ الَّذِيْ لَمْ یَكُنْ لَھُ نَظَرٌ وَاسْتِدْلَالٌ وَلَمْ یَقْرَأْ كِتَابًا فِيْ فُرُوْعِ الْمَذْھَبِ إِذَا قَالَ: أَنَا شَافِعِيٌّ، لَمْ یُعْتَبَرْ ھَذَا كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ،

Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal
(melakukan pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah
kitabpun yang ada sebagai referensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya
adalah bermadzhab Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan
bilamana hanya sekedar ucapan belaka.

وَقِیْلَ: إِذَا الْتَزَمَ الْعَامِّيُّ مَذْھَبًا مُعَیَّنًا یَلْزَمُھُ الْإِسْتِمْرَارُ عَلَیْھِ لِأَنَّھُ إِعْتَقَدَ أَنَّ الْمَذْھَبَ الَّذِيْ اِنْتَسَبَ إِلَیْھِ ھُوَ الْحَقُّ، فَعَلَیْھِ الْوَفَاءُ بِمُوْجَبِ
اعْتِقَادِهِ. وَلْلْمُقَلِّدِ تَقْلِیْدُ غَیْرِ إِمَامِھِ فِيْ حَادِثَةٍ، فَلَھُ أَنْ یُقَلِّدَ إِمَامًا فِيْ صَلَاةِ الظُّھْرِ مَثَلًا وَیُقَلِّدَ إِمَامًا آخَرَ فِيْ صَلَاةِ الْعَصْرِ

Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ketika seorang awam itu konsisten
mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihannya.
Karena jelas seorang awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar.
Maka konsekuensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan
madzhab yang ia yakini.
Bagi seseorang yang taqlid boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul
padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat Dzuhur, dan ia taqlid
dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat Ashar.

وَالتَّقْلِیْدُ بَعْدَ الْعَمَلِ جَائِزٌ، فَلَوْ صَلَّى شَافِعِيٌّ ظَنَّ صِحَّةَ صَلَاتِھِ عَلَى مَذْھَبِھِ ثُمَّ تَبَیَّنَ بُطْلَانُھَا فِيْ مَذْھَبِھِ وَصِحَّتُھَا عَلَى مَذْھَبِ غَیْرِهِ فَلَھُ
تَقْلِیْدُهُ وَیَكْتَفِيْ بِتِلْكَ الصَّلَاةِ

Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal atau ibadah adalah boleh. Untuk memahami
hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: “Bila seorang yang bermadzhab Syafi’i melakukan
sholat dan ia menyangka atas keabsahan sholatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata
kemudian menjadi jelas bahwa sholatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya dan sah
bila menurut pendapat yang lain, maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang
mengesahkan sholatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban sholatnya.”

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © benangmerahdasi.com. Designed by OddThemes & VineThemes