Benangmerahdasi.com -Pasal menjelaskan tentang sunnah dan Bid'ah
فَصْلٌ فِيْ بَیَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ
PASAL MENJELASKAN TENTANG SUNNAH DAN BID’AH
اَلسُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِیْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّیَّتِھِ : لُغَةً اَلطَّرِیْقَةُ وَلَوْ غَیْرَ مَرْضِیَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِیْقَةِ الْمَرْضِیَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي
الدِّیْنِ سَلَكَھَا رَسُوْلُ االلهِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ اَوْ غَیْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّیْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ االلهُ عَنْھُمْ لِقَوْلِھِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ عَلَیْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِیْنَ مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَیْھ مُقْتَدًى نَبِیًّا كَانَ اَوْ وَلِیًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ
لِلنِّسْبَةِ
Lafadz as-Sunnah dengan dibaca dhommah sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana
dituturkan oleh Imam al-Baqo’ dalam kitab Kulliyat-nya secara bahasa adalah thoriqoh (jalan),
sekalipun yang tidak diridhai.
Menurut terminologi syara’ as-Sunnah merupakan thariqah (jalan) yang diridhoi dalam menempuh
agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam atau selain
beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti para
sahabat Rodhiyallohu ‘anhum.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Tetaplah kalian untuk
berpegang teguh pada sunnahku dan sunnahnya Khulafaur Rosyidin setelahku.”
Sedangkan menurut istilah ‘urf adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang
menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk
penisbatan dari lafadz as-Sunnah dengan membuang ta’ untuk penisbatan.
وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّیْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِیْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ فِي الدِّیْنِ یُشْبِھُ اَنْ یَكُوْنَ مِنْھُ وَلَیْسَ مِنْھُ سَوَاءٌ كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ
بِالْحَقِیْقَةِ. لِقَوْلِھِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا ھَذَا مَا لَیْسَ مِنْھُ فَھُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِھِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ :"وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ
Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Iddatul Murid menurut istilah syara’
adalah: “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah2 ia merupakan bagian dari urusan
agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.”
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa menciptakan
perkara baru di dalam urusanku, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak.”
Dan sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”
وَقَدْ بَیَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَھُمُ االلهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِیْثَیْنِ الْمَذْكُوْرَیْنِ رَاجِعٌ لِتَغْیِیْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَیْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ
تَنَاوَلَتْھُ الشَّرِیْعَةُ بِأُصُوْلِھَا فَیَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَیْھَا اَوْ بِفُرُوْعِھَا فَیَكُوْنُ مَقِیْسًا عَلَیْھَا
Para ulama rohimahumulloh menjelaskan tentang esensi dari makna 2 hadits tersebut di atas dikembalikan pada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan
merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena kadang2 bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar2 syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan furu’us syyari’ah sehingga ia dapat dianalogikan pada syari’at.
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّیْنِ اَلشِّبْثِیْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِیْنَ النَّوَوِیَّةِ عَلَى قَوْلِھِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا
فَعَلَیْھِ لَعْنَةُ االلهِ
Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan padanya laknat Alloh.”
وَدَخَلَ فِي الْحَدِیْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَھْلِ وَالْجَوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا یُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْھُ مَا لَا یَخْرُجُ عَنْ دَلِیْلِ
الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِھَادِیَّةِ الَّتِيْ لَیْسَ بَیْنَھَا وَبَیْنَ اَدِلَّتِھَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَھِدِ وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِیْرِ الْمَذَاھِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ
وَالْحِسَابِ
Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad2 fasidah, menghukumidengan kebodohan dan ketidak adilan, dan lain2dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.
Baca juga: Pendahuluan dan daftar isiKeluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah2 ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang
tegas antara masalah2 tersebut dengan dalil2 nya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti
menulis Mushaf, mengintisarikan pendapat2 imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.
وَلِذَا قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ یُعْھَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ االلهِ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً
كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ وَغَرِیْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا یُتَوَقَّفُ فَھْمُ الشَّرِیْعَةِ عَلَیْھِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْھَبِ الْقَدَرِیَّةِ وَالْجَبَرِیَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ
الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ یُعْھَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْھَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِیْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ
صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَیْرِ ذَلِكَ
Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara2 yang baru itu ke dalam hukum2 yang 5. Beliau berkata:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam. (Bid’ah tersebut adakalanya):
1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz2
yang ghorib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2. Bid’ah Muharromah: seperti aliran Qodariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah2 ,juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman genmasasi pertama Islam.
4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih2 an menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai sholat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam
makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”
فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِیْلَ : إِنَّھُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّیَّةِ, وَالتَّھْلِیْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَیِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْھُ,
وَزِیَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَیْسَ بِبِدْعَةٍ
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim
bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika
bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah
tersebut, menziarahi makam dan lain2, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.
وَإِنَّ مَا أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّیْلِیَّةِ, وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَیْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ
Dan sesungguhnya perkara2 baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar2 malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain2 adalah termasuk seburuk2 nya bid’ah.
Post a Comment